HASAN AL-BASRI
Ketika Nabi masih hidup, sudah ada di antara para sahabat yang sangat peduli dengan kehidupan spiritual dan mencoba menganalisis dengan cermat berbagai aspeknya. Salah satunya adalah Huzaifah bin Yaman. Memasuki era Khulafa-ur Rasyidin, tampak misalnya dalam kehidupan Uais al-Qarni dan Abdullah bin Umar. Esoterisme yang kuat terpancar dari celah-celah kehidupan mereka dan memberikan daya tarik dalam keteladanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hasan al-Basri dalam menegakkan kehidupan spiritual yang intensif tidak pernah melupakan realitas yang ada di masyarakat. Ia tampil dengan kehidupan spiritual sambil memperingatkan seluruh umat Islam agar tidak terlena dan terlena dengan dunia dan dunia. Dia hidup sederhana dan mengajarkan kehidupan spiritual dalam bentuk teori yang berpusat pada ketakutan (khauf) dan harapan (raja).
Hasan Basri hidup pada masa pemerintahan Khalifah Malik bin Marwan (685-705 M)1 dan melihatnya sebagai khalifah yang mempelopori umat Islam untuk hidup materialistis. Pengaruh besar Hasan Basri membuat penguasa menahan diri dan membiarkannya bebas di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan spiritual mulai memasuki sikap protes dan tasawuf mulai memasuki era baru pembentukan ajaran dasar.
Hasan bin Yasar al-Basri lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya adalah Yasar, budak Zaid bin Tsabit yang dibebaskan dan diangkat sebagai sekretarisnya. Sedangkan ibunya adalah Khairah Maulat Umm Salamah. Abu Sa'id al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar al-Basri, yang dikenal sebagai al-Hasan al-Basri, lahir dua tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan Umar bin al-Khattab.
Pada awalnya keluarga al-Hasan al-Bashri tinggal di Wadi al-Qura, sebuah daerah di wilayah Madinah. Namun, ketika pecah perang Siffin (37 H), orang tuanya pindah ke Basra. Sementara itu, al-Hasan al-Basri sendiri tetap berada di Madinah. Baru setahun kemudian dia mengikuti Basra. Hasan al-Basri adalah seorang tabi'in, orang yang bertemu dengan para sahabat Nabi. Ia adalah murid dari sahabat Nabi, Hudzaifah bin Yaman yang dalam sejarah disebut-sebut bisa berbicara tentang rahasia hati (asrar al-qulub).
Bashrah adalah salah satu kota besar di Irak dan pusat peradaban Islam pada zaman klasik, terletak di dekat Syatt al-'Arab, sebuah sungai yang dibentuk oleh pertemuan Sungai Tigris dan Efrat, sekitar 75 mil (120 km) dari Teluk Persia dan 280 km dari Teluk Persia. Teluk Persia. mil (450 km) tenggara Bagdad. Bangsa Arab menemukan Basrah pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M).
Keluarga al-Hasan al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan memperhatikan ilmu khususnya Al-Qur'an dan hadits. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah satu istri Nabi Muhammad, adalah orang yang berilmu. Ibunya adalah seorang penghafal dan perawi banyak hadits, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadits dari Ummu Salamah.
Pendidikan awal Al-Hasan al-Basri berasal dari keluarganya sendiri. Ibunya adalah guru pertamanya. Kehidupan keluarganya di Madinah yang berlangsung kurang lebih 16 tahun sejak lahirnya al-Hasan al-Basri hingga keluarganya pindah ke Basra, memberi warna tersendiri bagi perkembangan ilmunya. Ibunya memiliki banyak pengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan al-Hasan al-Basri. Berkat didikan dan bimbingan ibunya, pada usia 14 tahun Hasan sudah hafal Al-Qur'an. Sejak usia dini seperti ini, ia juga telah mendengar banyak riwayat (hadits) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala ilmu agama khususnya hadits semakin luas.
Bashrah pada masa itu merupakan benteng ilmu yang paling besar, masjidnya yang megah selalu dipenuhi para sahabat Nabi dan mayoritas tabi'in yang berkunjung ke sana. Pengetahuan halaqah-halaqah dalam berbagai disiplin ilmu turut meramaikan dan meramaikan sudut-sudut masjid dan mushola.
Sementara itu, al-Hasan terus mengikuti halaqah Abdullah bin Abbas yang sering dijuluki sebagai "Penafsir Al-Qur'an dan Tinta Umat". Darinya ia belajar tafsir dan hadits dan qiraat, selain itu ia juga mengambil darinya dan ulama lainnya; fiqh, bahasa, dan sastra serta disiplin ilmu lainnya untuk menjadi orang yang bertaqwa, yang memiliki bangunan intelektual, fiqh, dan amanah yang utuh.