Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu instrumen penting dalam kebijakan fiskal yang berperan besar dalam pembiayaan negara. Sebagai pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, PPN memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Namun, penerapan PPN sering kali menjadi polemik karena sifatnya yang dianggap regresif, di mana beban pajak cenderung lebih berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam konteks pemerintahan Prabowo, analisis terhadap kebijakan PPN perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perspektif filsafat hukum, yang berfokus pada prinsip keadilan fiskal dan kesejahteraan publik.
Filsafat hukum memberikan landasan normatif dalam memahami hukum, termasuk kebijakan perpajakan. Dalam filsafat klasik, Aristoteles mengajukan gagasan tentang keadilan distributif, yaitu keadilan yang menuntut distribusi manfaat dan beban secara proporsional berdasarkan kemampuan individu. Dalam konteks PPN, prinsip ini menekankan pentingnya pemerataan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Namun, sifat regresif PPN menimbulkan tantangan terhadap prinsip tersebut, karena masyarakat berpenghasilan rendah cenderung mengeluarkan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk membayar pajak dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan, menegaskan pentingnya kebijakan yang dirancang untuk melindungi kelompok paling rentan dalam masyarakat. Pendekatan ini relevan dalam mengevaluasi kebijakan PPN di Indonesia. Dalam situasi di mana tarif PPN diterapkan secara seragam untuk semua jenis barang dan jasa, kelompok masyarakat miskin justru paling merasakan dampaknya. Oleh karena itu, kebijakan PPN harus dirancang dengan mempertimbangkan redistribusi yang adil, sehingga tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga alat untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Dalam perspektif keadilan fiskal, kebijakan PPN yang adil adalah kebijakan yang tidak hanya menambah pendapatan negara, tetapi juga berkontribusi pada pemerataan kesejahteraan. Penerapan PPN pada barang dan jasa tertentu, seperti kebutuhan pokok, dapat memberikan beban tambahan pada masyarakat miskin. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah mengelompokkan barang dan jasa berdasarkan prioritas dan tingkat kebutuhan masyarakat. Barang-barang yang tergolong kebutuhan dasar, seperti makanan pokok, layanan kesehatan, dan pendidikan, dapat dikecualikan dari PPN atau dikenakan tarif yang lebih rendah. Pendekatan ini memungkinkan beban pajak lebih proporsional dan selaras dengan prinsip keadilan.
Namun, keadilan fiskal tidak hanya berkaitan dengan distribusi beban pajak, tetapi juga dengan alokasi pendapatan yang diperoleh dari pajak tersebut. Dalam konteks kesejahteraan publik, pendapatan dari PPN harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk membiayai program-program yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti subsidi, pembangunan infrastruktur, dan layanan sosial. Dalam era pemerintahan Prabowo, pengelolaan anggaran negara yang efektif menjadi tantangan utama untuk memastikan bahwa pendapatan PPN benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan.
Filsafat utilitarianisme, yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham, menekankan bahwa kebijakan publik harus diarahkan untuk mencapai kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbesar. Dalam konteks PPN, kebijakan ini berarti bahwa pendapatan dari pajak harus digunakan untuk mendukung program yang memiliki dampak positif terbesar bagi masyarakat luas. Misalnya, pendapatan dari PPN dapat dialokasikan untuk memperbaiki layanan kesehatan, menyediakan pendidikan yang lebih terjangkau, atau membangun infrastruktur di daerah tertinggal. Dengan cara ini, PPN dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan publik.
Selain itu, era digital menghadirkan tantangan baru dalam penerapan PPN, terutama dalam perdagangan elektronik (e-commerce). Pertumbuhan ekonomi digital membuka peluang bagi pemerintah untuk memperluas basis pajak, namun juga membutuhkan kebijakan yang adaptif. Transaksi digital sering kali sulit dilacak, sehingga berpotensi mengurangi efektivitas sistem PPN yang ada. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme yang lebih canggih untuk mengawasi dan memungut PPN dari transaksi digital, tanpa membebani pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia.
Kebijakan PPN juga harus mempertimbangkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui bagaimana pendapatan pajak digunakan oleh pemerintah. Transparansi ini tidak hanya menciptakan kepercayaan publik, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan perpajakan tetap berorientasi pada tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan rakyat. Teknologi, seperti blockchain, dapat digunakan untuk mencatat dan melacak pendapatan serta pengeluaran negara, sehingga meminimalkan risiko penyalahgunaan dana.
Dalam konteks ini, pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan meningkatkan pendapatan negara dan menjaga keadilan sosial. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan ini adalah dengan menerapkan kebijakan perpajakan yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Misalnya, penerapan tarif PPN yang lebih tinggi untuk barang-barang mewah dapat membantu meningkatkan pendapatan negara tanpa memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Di sisi lain, kebijakan fiskal yang progresif pada sektor lain, seperti pajak penghasilan, dapat membantu mengimbangi dampak regresif PPN.
Kesimpulannya, PPN adalah instrumen penting dalam kebijakan fiskal yang memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan publik. Namun, penerapannya harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan bahwa pajak ini tidak menjadi beban yang tidak adil bagi masyarakat miskin. Dalam perspektif filsafat hukum, kebijakan PPN yang ideal adalah kebijakan yang selaras dengan prinsip keadilan distributif, utilitarianisme, dan transparansi.
Pemerintahan Prabowo memiliki peluang untuk memperbaiki sistem PPN sehingga lebih adil dan efektif dalam mendukung tujuan pembangunan nasional. Dengan memprioritaskan keadilan fiskal dan kesejahteraan publik, kebijakan PPN dapat menjadi alat yang tidak hanya mengumpulkan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.