Mohon tunggu...
Rd. Rizki Luthfiah Aziz
Rd. Rizki Luthfiah Aziz Mohon Tunggu... Aktor - An Observer and Participant of Life

Pengelana yang ingin mengarungi samudra kehidupan dan menyelami misteri alam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setiap Manusia Perlu Peranan

10 April 2017   21:28 Diperbarui: 26 April 2018   22:36 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar di atas adalah sebuah lukisan karya Rob Gonsalves, seorang pelukis Kanada yang beraliran magical realism. Gaya lukisan yang sedang penulis gemari akhir-akhir ini. Ilusi-ilusi yang dihadirkan oleh gaya lukisan magical realism kerap memaksa setiap orang yang melihatnya untuk berpikir lebih dalam akan pesan apa yang ingin disampaikan oleh si pelukis. "Mind blowing" kalau istilah populer di kalangan anak muda. 

Tulisan ini adalah tulisan perdana penulis di Kompasiana dan begitu banyak hal ingin disampaikan seputar manusia dan alam sekitarnya. Orang bijak mengatakan bahwa dengan menulis maka keabadian dapat digenggam. Satu yang penulis ingat adalah pesan mendiang Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. 

Dusta bila penulis tidak mengaku bahwa ada keinginan untuk mendapat secuil tempat dalam ruang sempit sejarah. Untuk mendapat tempat itu maka setiap orang perlu mendapat peranan dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin besar peranan seseorang maka semakin kuat sejarah mengenang. 

Pendidikan: Wadah Pencetak Peranan

Upaya meraih dan mendalami pengetahuan memang tidak hanya didapat di bangku sekolah.  Namun hingga kini, sekolah masih menjadi lembaga formal utama yang mengeluarkan pengakuan resmi atas kemampuan dan keahlian seseorang. Jenjang selolah secara eksplisit menunjukkan seberapa jauh pendidikan diraih. Salah satu instrumen pengakuan tersebut adalah ijazah. Meskipun ijazah tidak serta merta merepresentasikan tingkat kecerdasan dan kedewasaan berpikir seseorang.

Sesuai namanya, Sekolah Dasar sesungguhnya merupakan titik penentu masa depan seseorang yang paling dasar. Setiap anak SD mendapat label anak sekolahan. Setamat dari SD, enam tahun selanjutnya adalah proses pengembangan yang semakin mengerucutkan kemungkinan-kemungkinan peranan yang didapat dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Label yang sama masih tertanam hingga lulus SMA. Secara umum ada pembagian porsi yang spesifik dalam masyarakat bagi mereka yang lulusan SD, SMP ataupun SMA. Pengerucutan atas kemungkinan peranan yang didapat di masa depan semakin menjadi-jadi ketika telah memasuki Perguruan Tinggi.

By design mahasiswa kedokteran bisa dikata tidak mungkin menjadi insinyur, begitupun setiap insinyur tidak mungkin menjadi dokter bila merujuk pada latar belakang pendidikannya. Bersyukurlah kita yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di program studi yang memang sesuai dengan yang harapan sehingga dapat mengantarkan kita pada apa yang dicita-citakan. 

Pada masa kini, meski segala sesuatunya semakin tidak pasti, sistem telah mendorong kita untuk menerima bahwa bekal ilmu dan pengetahuan yang didapat selama mengenyam pendidikan tinggi sejatinya menyiapkan setiap penstudi untuk memiliki peranan nyata dalam kehidupan sosial di masyarakat. 

Suatu program studi menyiapkan penstudinya menjadi seorang dokter, program lain menyiapkan penstudinya menjadi seorang ekonom, yang lainnya menyiapkan penstudinya menjadi seorang astronom dan lain sebagainya. Tidak ada peranan yang tidak berarti sebab yang ada hanyalah peranan yang memberikan manfaat bagi orang lain dan peranan yang merugikan orang lain. Pendidikan menuntut setiap kita untuk berpikir sebelum bertindak, oleh karenanya pelajar yang baik umum bertemu dengan apa yang benar dan apa yang salah, sehingga mereka yang berpendidikan sejatinya mampu memilah mana benar dan mana salah dalam segala konteks. Proses berpikir seharusnya menuntup setiap pelajar untuk menolak pemahaman yang bersifat dogmatis, termasuk dalam segala hal. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi pendefinisan benar-salah itu sendiri dapat diurai.

Mahasiswa: Status Agung Tapi Nanggung  

Mereka yang melanjutkan pendidikan seusai SMA akan berganti label dari anak sekolahan menjadi anak kuliahan. Berbagai perubahan akan mereka rasakan. Dalam dinamika kehidupan kampus, terutama yang berbentuk universitas, dapat dilihat ilustrasi negara mini yang di dalamnya terdapat simulasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja model pemilihan umum melalui pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa, Ketua Organisasi dan lain-lain. Ada pula model kaderisasi politik melalui jenjang jabatan dalam berbagai organisasi kampus. Dengan semangat muda yang menggebu diiringi kehausan untuk mencari tahu hal baru maka setiap mahasiswa mampu menjadi apapun yang ia inginkan. Kampus yang mapan akan mampu memfasilitasi mahasiswanya dalam pengembangan minat dan bakat dengan baik. 

Meski sebatas dalam lingkungan kampus dan tidak mendapat legitimasi nyata dari masyarakat umum namun sebagian mahasiswa dapat berbangga hati karena pada dunianya sebagian berhasil menjadi pejabat, sebagian menjadi ilmuwan, filsuf, bahkan ada yang menjadi rohaniwan. Padahal tidak ada kepastian apakah setelah menamatkan pendidikan akan benar-benar menduduki peranan yang sama. 

Terlepas dari itu semua sejatinya mahasiswa adalah mereka yang dipandang sebagai kaum cendikiawan. Apapun program studinya mahasiswa akan selalu berkutat dengan nilai-nilai (values) maka bergelut dengan benar dan salah bukan lagi makanan sehari-hari melainkan jalan hidup. Untuk itu sepatutnya mahasiswa selalu bersifat arif dan bijaksana dalam bertutur kata dan bersikap.

Tentu mahasiswa yang ideal adalah yang mampu memanfaatkan kemampuan analisisnya dalam memahami fenomena nyata sekalipun tidak berkaitan dengan program studi. Tapi tidak patut dikesampingkan bahwa setiap program studi bertujuan untuk menempa penstudinya agar memahami dan menguasai bidang tersebut yang harapannya ketika kembali ke masyarakat sebagai manusia baru kelak, mahasiswa mendapat peranan baru pula yang mampu meberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang didapatnya di bangku kuliah.

Kita hidup di dunia yang semakin pragmatis dengan segala sesuatu dilihat dari nilai guna dan kemanfaatannya, setiap orang akan semakin dihargai apabila kehadirannya memberikan banyak pengaruh positif bagi orang lain di sekitarnya. Pendidikan tinggi diperlukan untuk memberikan keahlian yang akan menjadi kekhasan bagi diri sendiri dibandingkan orang lain pada umumnya. 

Terlepas dari hal itu, apapun peranan kita nantinya di tengah masyarakat, bila benar-benar meresapi hakikat proses pengembangan berpikir sejak SD hingga mengenyam pendidikan tinggi maka kita akan mampu melihat segala sesuatunya secara mendalam dan lebih jernih. Berpikir kritis akan memudahkan kita untuk meresapi segala fenomena dengan kesadaran dan pemahaman yang matang, sehingga ada kemandirian dalam mencermati setiap hal yang kemudian juga menentukan bagaimana kita bersikap dan bertindak.

Satu dari sedikit bentuk visualisasi dari kenikmatan berpikir bebas dan kritis dapat terlihat ketika mengagumi lukisan-lukisan Magical Realism sebagaimana penulis sebutkan di awal tulisan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun