Tulisan ini merupakan subjektivitas penulis yang sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkan satu atau beberapa institusi tertentu.
Sudah lama penulis berniat untuk mencurahkan pikiran seputar sikap khas yang diberikan kepada individu-individu yang termasuk bagian dari angkatan bersenjata. Istilah angkatan bersenjata sengaja dipilih, alih-alih militer, sebab cakupan angkatan bersenjata pada beberapa negara, terutama negara-negara berkembang, tidak hanya terbatas pada angkatan perangnya saja melainkan juga institusi paramiliter dan lembaga bernuansa semi-militer seperti kepolisian.
Kerancuan Hubungan Sipil - Militer di Indonesia Pada Masa Lalu
Di Indonesia sendiri pada masa orde baru hingga reformasi bangsa ini sempat melewati masa ketika institusi militernya yakni Tentara Nasional Indonesia atau TNI diintegrasikan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam satu alur komando bersama yang kemudian dikenal luas sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).Â
Pemisahan kedua institusi paska reformasi tidak serta merta menghilangkan nuansa militerisme pada Polri. Meski demikian hingga kini usaha-usaha untuk menuju apa yang disebut sebagai jati diri polisi sipil terus diupayakan oleh Polri demi melahirkan polisi-polisi yang humanis dan profesional.Â
Terlepas dari hal itu sebagai simplifikasi penulis akan melihat para individu kepolisian sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai individu angkatan bersenjata.
Secara historis militer Indonesia memang sempat memiliki peran dan relasi yang unik dengan kehidupan sipil bermasyarakat bangsa Indonesia. Istilah Dwifungsi ABRI masih kuat di ingatan banyak orang yang sempat melewati masa-masa pemerintahan Orde Baru. Secara sederhana konsep ini memberikan legitimasi pada ABRI untuk menjadi stabilitator pembangunan bangsa. Konsekuensinya ABRI tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sebagai pengawas sekaligus penindak segala ancaman terhadap pembagunan bangsa yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Implikasi dari prinsip Dwifungsi ABRI ini ialah banyaknya perwira aktif yang dengan serta merta diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan sipil yang dinilai setara dengan pangkat yang bersangkutan, seperti seorang Letnan Kolonel diangkat sebagai Bupati, seorang Mayor Jenderal diangkat sebagai Gubernur atau Dirjen di Kementerian.
Oleh karenanya wajar banyak pihak merasa diingatkan kembali pada kenangan Dwifungsi ABRI ketika melihat seorang Komisaris Jenderal Polisi aktif diangkat sebagai pejabat sementara Gubernur.
Pada saat Jenderal El-Sisi melakukan kudeta dan berhasil menjadi pucuk pimpinan pemerintah Mesir, ia menunjuk sejumlah Jenderal aktif untuk menjadi Gubernur dan kepala daerah pada tingkat lainnya, beberapa di antaranya merupakan perwira tinggi kepolisian. Ini menandakan bahwa fenomena pengangkatan perwira aktif pada posisi pemerintahan sipil merupakan hal yang kerap ditemui di beberapa negara terutama negara-negara berkembang. Pada titik ekstrim peran militer mendominasi sipil secara masif tentu terlihat pada negara yang diatur oleh rezim militer.Â
Studi Hubungan Sipil - Militer banyak membahas berbagai dasar yang melatarbelakangi terisinya posisi-posisi sipil oleh individu angkatan bersejentara. Beberapa asumsi yang digulirkan ialah karena kurangnya kepercayaan masyarakat dari negara itu sendiri pada individu sipil yang dinilai tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.Â
Sehingga wajar keterlibatan militer pada kehidupan sipil kerap ditemui pada negara yang kondisi stabilitas keamanan-pertahanannya terganggu. Namun di sisi lain secara implisit terlihat bahwa ini merupakan pengakuan superioritas individu angkatan bersenjata atas individu sipil.