Konflik di kawasan Timur Tengah merupakan salah satu topik pembahasan yang sering dibicarakan di dalam ranah akademis dengan konteks politik internasional, literatur akademik, dan pemberitaan terkait dinamika negara-negaranya. Konflik yang terjadi bervariasi, mulai dari konflik antar etnis, perang saudara, dan konflik perebutan kawasan. Salah satu konflik yang sering menjadi perbincangan dan telah berjalan hampir 50 tahun lebih adalah konflik antara Israel dan Palestina. Selama 50 tahun, berbagai usaha untuk melakukan proses perdamaian telah dicapai oleh kedua belah pihak, namun belum mendapatkan titik terang walaupun sudah dimediasi oleh negara-negara lainnya.
Â
Secara geopolitik, Palestina mendapat dukungan dari negara-negara Arab di kawasan tersebut sedangkan Israel mendapat dukungan dari Amerika Serikat sebagai negara superpower di dunia. Pada konflik tersebut, posisi dari kedua pihak sangatlah jelas, yaitu negara-negara Arab tidak akan pernah mengakui kedaulatan Israel sampai menyerahkan wilayah yang dianeksasinya, menurut negara-negara arab, kepada Palestina dan Amerika Serikat meminta untuk diadakannya solusi dua negara, adanya negara Palestina dan Israel yang berdiri di kawasan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut bertahan dari awal konflik hingga akhirnya pada tahun 2020, terdapat dua negara arab yang memutuskan untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel yaitu Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, sebagai informasi negara-negara arab sebelum tahun 2020 memiliki prinsip tidak akan menjalin hubungan dengan Israel sebelum Israel mengembalikan wilayah yang diambilnya dari Palestina.
Â
Oleh karena itu, penulis melihat bahwa terdapat peningkatan potensi ketidakstabilan kawasan apabila normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara arab terus dilakukan tanpa melibatkan Palestina di dalamnya. Penulis berpendapat bahwa sikap UEA dan Bahrain menunjukkan bahwa adanya inkonsistensi dari negara-negara arab dalam mempertahankan prinsipnya dalam isu konflik Israel dan Palestina. Untuk menjelaskan pendapat penulis, tulisan akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu penjelasan mengenai (1) normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara arab, (2) pandangan masyarakat Palestina terhadap normalisasi, dan (3) analisis kemungkinan ketidakstabilan kawasan apabila normalisasi dilanjutkan.
Â
Untuk pembahasan pertama, penulis akan menjelaskan tentang normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara arab. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, upaya normalisasi telah diusahakan oleh Israel dan Amerika Serikat hingga akhirnya berhasil dilakukan di dua negara arab, yaitu Bahrain dan UEA, pada tahun 2020. Sebelum membahas lebih jauh mengenai isu normalisasi, penulis akan menjelaskan sedikit tentang konflik Israel dan Palestina untuk memberikan konteks terhadap isu normalisasi yang akan dibahas.
Â
Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik yang paling bertahan lama dan sulit untuk diselesaikan sejak Perang Dunia II. Akar permasalahan dari konflik ini adalah kolonisasi yang dilakukan oleh Zionis, perkumpulan yahudi yang diciptakan oleh Theodore Herzl, di Palestina. Kolonisasi ini bermula pada abad ke-19 dan semakin memanas selama Perang Dunia II saat Inggris sedang memegang kendali. Mi’ari berpendapat bahwa konflik ini bersumber dari sengketa wilayah antara masyarakat pribumi arab dari Palestina dan masyarakat yahudi yang tinggal di daerah tersebut. Masyarakat yahudi di Palestina mendukung akan gerakan Zionis ini dan menyebabkan konflik dengan masyarakat pribumi arab di kawasan yang sama.
Â
Pada awal proses kolonisasi yang dilakukan dan saat berakhirnya mandat Inggris di kawasan tersebut pada tahun 1948, masyarakat yahudi di Palestina memiliki proporsi 35% dari total populasi yang ada di Palestina dan menguasai 7% dari luas total wilayah Palestina. Masyarakat pribumi arab di Palestina tidak menginginkan adanya negara yahudi di wilayah tersebut, mereka berpendapat bahwa cukup hanya ada satu negara di kawasan tersebut yang mampu menaungi ketiga Agama Ibrahim, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristiani untuk tinggal bersama dengan damai. Namun, karena kekalahan perang yang dialami oleh masyarakat pribumi arab di Palestina pada tahun 1948, prinsip tersebut tidak dapat dipertahankan dan wilayah Palestina terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Peperangan terus berlangsung dan menyebabkan masyarakat pribumi arab di Palestina mengalami beberapa kekalahan yang menyebabkan semakin kecilnya wilayah kekuasaan mereka.