Mohon tunggu...
Rafii Dzikra
Rafii Dzikra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tempat berbagi dan mencatat ilmu

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Beberapa Startup Indonesia Melakukan PHK Karena Bubble Burst. Apa Itu Bubble Burst?

7 Juli 2022   12:00 Diperbarui: 9 Juli 2022   19:26 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bubble burst. Sumber ilustrasi: vecteezy.com/vector-art/8089814 

Pada pertengahan tahun 2022 ini, perusahaan rintisan berbasis teknologi atau startup sedang mengalami masa-masa sulit. Akibatnya, para pekerja dari beberapa startup di berbagai negara mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau layoff secara besar-besaran tak terkecuali di Indonesia. Berdasarkan data dari Eccomurz dan Designrant dalam Layoff Form mereka, terdapat beberapa startup ternama di Indonesia yang melakukan PHK, yaitu Zenius, Pahamify, Linkaja, JD.ID, dan masih banyak lagi. PHK di beberapa startup ini dapat terjadi karena perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan akibat kurangnya pendanaan. Fenomena kurangnya pendanaan di kalangan startup inilah yang disebut dengan istilah bubble burst. Lalu, mengapa fenomena tersebut disebut bubble burst? Apa penyebabnya? Berikut penjelasannya.

Bubble burst atau gelembung pecah merupakan pengandaian dari gabungan fenomena kenaikan harga barang—terutama harga aset—di atas nilai wajarnya yang kemudian diikuti penurunan harga secara drastis. Kenaikan harga barang yang cepat tersebut diibaratkan seperti bubble (gelembung). Setelah itu, bubble tersebut pun perlahan akan burst (pecah) karena tidak ada pembeli yang mau membayar di harga yang lebih tinggi. 

Mudahnya, dalam dunia startup, bubble berakibat pada perubahan tingkah laku investor yang semakin selektif dalam menyuntikkan dana investasinya. Kemudian, burst akan terjadi ketika para startup yang belum bisa menghasilkan profit sepenuhnya kehilangan suntikan dana dari investor mereka. Oleh karena itu, agar bisa bertahan dalam kondisi ini, salah satu cara yang dilakukan startup tersebut adalah dengan mengurangi biaya operasional seperti mem-PHK karyawannya. 

Lantas, apa yang menyebabkan para investor semakin selektif saat ini?

Dari sisi makroekonomi, salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap perilaku investor untuk berinvestasi adalah suku bunga acuan, terutama suku bunga acuan The Fed sebagai bank sentral Amerika Serikat (AS). Mengutip dari Investopedia, pada 15 Juni 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dengan kisaran 1,5%—1,75%. Kenaikan suku bunga ini menjadi yang terbesar sejak tahun 1994 dalam menghadapi inflasi yang meroket di AS pada bulan Mei lalu. Oleh karena inflasi dan suku bunga acuan yang sangat besar di AS, investor cenderung mencari perusahaan yang aman untuk berinvestasi sehingga dapat memperkecil peluang startup untuk mendapatkan pendanaan. Hal ini tentu berdampak terhadap kondisi keuangan startup, terutama pada startup yang terlalu bergantung dengan dana investor.

Mengapa para startup sangat bergantung pada dana investor?

Startup funding atau pendanaan startup tentu sangatlah dibutuhkan untuk kebutuhan operasional dan pengembangan bisnis pada startup. Namun, untuk mempercepat pertumbuhan perusahaan dan menarik minat customer, para startup dengan model penjualan dari bisnis langsung ke pelanggan (B2C), seperti pada platform e-commerce, tak jarang melakukan metode bakar uang dengan memberikan potongan harga atau cara promosi lainnya yang tentu membutuhkan dana sangat besar. Akibatnya, startup tersebut harus melakukan metode bakar uang kembali untuk membuat customer mereka loyal. Oleh karena itu, beberapa startup dengan model penjualan B2C sangat bergantung dengan dana dari investor. 

Membaiknya situasi pandemi di Indonesia tahun ini mungkin menjadi berita baik bagi masyarakat, tetapi sebaliknya bagi beberapa startup. Walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada kuartal satu tahun 2022 perekonomian Indonesia tumbuh 5,01 persen, tidak dapat dipungkiri fenomena PHK masih terjadi di kalangan startup Indonesia. Saat ini, para startup tentu masih harus beradaptasi dengan kondisi perekonomian  Indonesia yang mulai pulih kembali serta kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Oleh karena itu, fenomena bubble burst ini dapat menjadi pembelajaran bagi startup maupun pekerjanya dalam penentuan arah perusahaan ke depannya.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun