Mohon tunggu...
Mohammad Nuh
Mohammad Nuh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyiapkan Kebangkitan Kaum Duafa

10 Mei 2015   13:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

AWAL Desember 2014, saya berkesempatan berdialog dengan ribuan mahasiswa penerima bidikmisi di ITS dan Universitas Negeri Semarang. Salah satunya dengan mahasiswa semester V yang sengaja hadir mengajak ibu dan bapaknya yang bekerja sebagai buruh tani. Raut muka dan tampilan fisiknya membuktikan beratnya beban hidup yang harus ditanggung.

Saya bertanya, apa cita-citanya? Ingin jadi pengusaha. Itulah jawaban sang penerima bidikmisi sambil menggandeng tangan ibu dan bapaknya dengan penuh kebanggaan. Dengan penuh percaya diri, dia bercerita bahwa sekarang dirinya mulai berusaha membuat roti brownies yang dipasarkan di kampusnya. Hasil penjualannya sudah melebihi beasiswa bidikmisi yang diterima. Bahkan, dia telah memiliki pegawai. Itulah sebagian kecil contoh benih-benih kesuksesan yang didasarkan atas rasa percaya diri, optimisme, dan berpengetahuan.

Sungguh sangat banyak kisah sukses tentang mereka yang berasal dari keluarga miskin yang mampu membebaskan diri dan keluarganya dari jerat kemiskinan. Bahkan, tidak jarang di antara mereka menjadi pelaku ekonomi nasional. Kesempatan memperoleh pendidikan yang baik menjadi salah satu kunci kisah sukses mereka. Itulah pengalaman empiris yang dengan mudah kita temukan dalam realitas kehidupan.

Kajian yang bersumber dari Human Development Report (2011), Global Competitiveness Report (2010–2011), dan World Bank (2011) menunjukkan hubungan yang kuat antara lama belajar (baca tingkat pendidikan) dan pendapatan per kapita yang memiliki koefisien korelasi 0,93. Koefisien korelasi lama belajar dengan daya saing (competitiveness index) adalah 0,96. Koefisien korelasi tersebut semakin meningkat apabila lama belajar dikaitkan dengan indeks pembangunan manusia secara keseluruhan (pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per kapita), yaitu 0,99.

Naiknya koefisien korelasi itu menunjukkan bahwa pendidikan memiliki efek ganda (multiplier effect). Secara statistik, makna koefisen korelasi di atas 0,9 itu berarti ’’hampir pasti’’. Artinya, tingkat pendidikan, tentu yang berkualitas, hampir pasti bisa meningkatkan pendapatan per kapita (kesejahteraan secara ekonomi), kesehatan, dan daya saing.

Jeffrey D. Sach dalam bukunya The End of Poverty (2005) telah melakukan penelitian, untuk memotong mata rantai kemiskinan di pedesaan (Kenya) dan perkotaan (Mumbai, India), dapat dilakukan tiga hal: (1) menyediakan kesehatan dasar, (2) memberikan pendidikan, serta (3) membangun infrastruktur air, listrik, dan komunikasi.

Peraih Nobel Ekonomi 2007 Eric Stark Maskin juga menegaskan, solusi terbaik untuk mentas dari kemiskinan adalah meningkatkan pendidikan dan pelatihan kerja bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jared Bernstein dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006) menegaskan pentingnya sebuah program yang secara sistemis mampu menolong orang miskin supaya memperoleh pendidikan yang layak dalam menjawab secara sungguh-sungguh problem untuk menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara.

Dari kajian tersebut, sungguh sangat jelas, penyediaan layanan pendidikan setinggi-tingginya (sampai jenjang pendidikan tinggi) bagi mereka dari keluarga miskin merupakan jawaban yang paling tepat untuk persoalan kemiskinan.

Karena itu, saat merumuskan program 100 hari (Oktober 2009–Januari 2010) pemerintahan SBY-Boediono, salah satu program Kementerian Pendidikan Nasional adalah menyiapkan beasiswa bagi anak-anak miskin yang memiliki prestasi berupa pembebasan seluruh biaya kuliah di perguruan tinggi dan bantuan biaya hidup yang selanjutnya dikenal dengan bidikmisi (beasiswa pendidikan untuk anak miskin berprestasi). Setiap anak miskin memiliki misi, yaitu memberantas dan memotong mata rantai kemiskinan. Misi itulah yang akan dibidik penerima bidikmisi.

Pada tahun pertama (2010), alokasi bidikmisi sekitar 10.000 (sepuluh ribu) mahasiswa dan terus meningkat secara bertahap menjadi 70 ribu mahasiswa pada tahun akademis 2014–2015. Secara keseluruhan, saat ini telah mencapai 220 ribu mahasiswa yang tersebar di sebagian besar perguruan tinggi negeri.

Awalnya, peraturan menteri menjadi payung hukum pemberian beasiswa bidikmisi tersebut. Lantas, terus ditingkatkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Akhirnya, dalam kurun dua tahun, kebijakan afirmasi tersebut diperkuat melalui UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, kebijakan afirmasi tersebut bukan saja tanggung jawab kementerian terkait, pemerintah, namun sudah menjadi tanggung jawab negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun