Mohon tunggu...
Mohammad Nuh
Mohammad Nuh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lampu Masyarakat Terdidik

17 Mei 2015   11:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu syarat ke­biasaan orang mem­berikan apresiasi adalah dia sendiri pernah berprestasi atau merasa­kan betapa berat untuk berprestasi.

Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini bisa kita bangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga tambah lama, tam­bah besar. Kalau masyarakat kita pelit, ia jadi spiral inward yang lari ke dalam, tadinya besar tam­bah lama tambah kempis.

Kami tak ingin bangsa ini ter­jebak pada tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Kami dorong sekecil apa pun prestasi itu, harus kami berikan pengaku­an, apalagi prestasi dan dedikasi yang telah ditunjukkan Jakob Oetama luar biasa, bukan sekadar tahunan, tetapi sepanjang hayat, rekam jejaknya luar biasa dalam jurnalisme.

Ke depan zaman tidak makin sederhana Pasti kian rumit. Bu­ku terakhir yang saya baca me­nunjukkan begitu, tentang the simple rule, terbitan tahun 2014, bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali derajat kompleksitas­nya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali dari yang sekarang. Artinya apa? Ke depan hampir bisa dipastikan persoalan tambah rumit. Bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?

Kemampuan berpikir

Ada dua rumus sederhana apabila kita ingin memasuki wi­layah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir. Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita berada pada the low thinking,  melainkan harus kita naikkan menjadi the higher level thinking, naik lagi jadi the highest level thinking. Untuk itu, dengan segala macam kekurangan, ter­masuk segala macam persoalan­nya, kami menata kurikulum menjadi Kurikulum 2013. Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang tadinya terbiasa dalam wi­layah the low level thinking, kami dorong supaya dia bisa naik ke the higher level thinking dan the highest level thinking.

Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan ber­pikir ditingkatkan. Tidak cukup hanya kemampuan berpikir itu yang kami tingkatkan. Ibaratnya, kalau kita masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lam­punya mati, tambah tidak bisa kita kenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan ini ru­mit, kalau lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir kita menghadapi keru­mitan itu bisa kita dapatkan, per­soalan serumit apa pun bisa kita selesaikan. Siapakah lampunya itu? Tak lain adalah orang seperti Jakob Oetama.

Dalam bahasa lebih umum, lampu itu adalah guru. Guru dari ’gu' dan ru, jadi 'gu' the darkness. 'Gu' itu bahasa aslinya the dark­ness, the darkness of ignorance, itulah kegelapan yang diakibat­kan ketidaktahuan atau bahasa ekstremnya barangkali kebodoh­an, tetapi saya tidak pernah menggunakan istilah kebodohan, melainkan ketidaktahuan.

'Ru'-nya the light, cahaya, de­ngan demikian kehadiran guru ibarat cahaya yang menerobos di sela-sela kegelapan. Kalau kedua faktor itu bertemu, kemampuan berpikir yang mampu mengurai kerumitan-keruwetan itu ditam­bah dengan ada pencahayaan- pencerahan- maka serumit apa pun yang dihadapi bangsa ini, kita bisa selesaikan.

Guru yang kedua. Kalau yang pertama itu bersifat personal, guru yang kedua adalah media massa. Namanya media massa, berarti ada media dan ada massa. Antarmassa-antarmassa ini, massa apa saja dan siapa pun massa itu, berarti in between, di antara massa-massa itu, sehingga dikasih nama media massa. Kalau ruang antara massa-massa itu memerankan tiga fungsi se­kaligus dan nanti ada tambahan satu fungsi, antarmassa akan bisa terangkai dengan baik dan akan membentuk satu bangunan kukuh.

Apa peran yang harus dimain­kan media di antara massa-massa atau media massa? Pertama, me­dia massa, media yang di antara massa-massa tadi itu harus pu­nya peran untuk selalu how to educate the people atau berfungsi edukatif. Begitu orang baca ko­ran, bukan sekadar informasi yang dia dapat, bukan, bukan sekadar data yang dia dapatkan, tetapi kita harapkan media massa itu bisa memerankan fungsi edu­katifnya. Maka, setiap orang yang membaca satu media, dia akan mendapatkan data, mendapat­kan informasi, mendapatkan pengertian dan pemahaman ten­tang persoalan.

Tak boleh dilupakan, pada ujungnya dia akan mendapat wisdom dengan membaca koran atau membaca berita. Itulah hierarki keilmuan: data, informasi, understanding, dan wisdom, sehingga kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak seka­dar menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin dipesankan tentang pentingnya fenomena yang mun­cul yang diberitakan, masyarakat kita akan jadi well educated (ter­didik).

Masyarakat terdidik

Ciri masyarakat terdidik itu tidak dengan gelar-gelar, entah itu profesor, doktor, tetapi de­ngan lebih fungsional: pertama, apakah orang itu kalau dihadap­kan pada suatu persoalan, pola pikirnya seperti apa? Kalau pola pikirnya how to solve the problem, itu sudah memenuhi kriteria well educated. Namun, kalau pola pi­kirnya how to create the new problem, maka meskipun dia pro­fesor, meskipun dia doktor, dia belum well educated.

Ada orang: apabila menemu­kan persoalan, dia bukan mencari solusi terhadap persoalan, tetapi persoalannya yang dipersoalkan. Karena dia tak bisa menyelesai­kan, maka persoalannya diper­soalkan. Kami tak ingin itu sebab rumus atau kebutuhan persoalan itu adalah penyelesaian.

Ciri kedua. Orang atau masya­rakat atau society yang well edu­cated, kalau dia menyelesaikan persoalan, biaya menyelesaikan persoalannya rendah, baik society cost, political cost, maupun economical cost-nya. Kalau suatu ma­syarakat dalam menyelesaikan permasalahan ternyata biayanya mahal, entah itu biaya politik, biaya sosial, atau biaya ekonomi, berarti masyarakat itu belum well educated sebab masih ada cost effectiveness.

Ciri ketiga. Dalam menyelesai­kan persoalan itu, the society yang well educated tidak mau nabrak aturan, moral, atau segala etika yang terkait dengan kesepakatan nilai-nilai kemuliaan. Meskipun dia bisa menyelesaikan persoalan dan biaya menyelesaikan perso­alan itu pun rendah, dalam pe­nyelesaian persoalan harus nabrak kiri-kanan, mulai dari aturan sampai etika, masyarakat itu pun belum termasuk kategori well educated. Sebaliknya masya­rakat itu disebut terdidik kalau dalam menyelesaikan berbiaya murah, dengan tetap menjaga aturan dan etika.

Dan yang terakhir cirinya ada­lah kebisaan itu tepat pada wak­tunya. Ada orang yang biasa mengalami keterlambatan, itu ibarat dalam ujian. Taruhlah waktu ujian pukul 09.00-11.00, yang penting di dalam rentangan pukul sembilan sampai sebelas itu yang bersangkutan bisa me­ngerjakan soal. Namun, yang se­ring kita jumpai, setelah pukul 11.00 tetaplah jawaban yang tadi sudah dikerjakan dan dianggap selesai. Orang macam ini tidak termasuk well educated.

Jadi, well educated atau yang terdidik itu bisa mengerjakan pa­da saat ditetapkan jadi timely proper. Itulah peran pertama yang kita harapkan dari media. Mempunyai peran untuk edu­kasi. Ini belum cukup. Peran yang kedua adalah bagaimana mem­berdayakan, how to empower se­luruh potensi yang kita miliki, sehingga media tidak lagi sekadar how to strengthen pilar-pilar yang ada dalam masyarakat, tetapi ju­ga ikut memberdayakan, ikut em- powering. Ibarat seorang anak, kalau kakinya sudah kuat, dia lari pun bisa. Kalau kakinya tidak dibiasakan diberdayakan menen­dang bola, dia pun tak bisa menendang bola dengan kecepatan tertentu. Media punya peran memberdayakan.

Peran yang ketiga. Sering kali perkara kita rumit, maka media mohon tidak menambah keru­mitan. Saya bukan politisi yang tidak paham tentang ilmu politik. Namun, setiap kali ada seseorang yang mengomentari kejadian po­litik, saya tertawa, karena kebe­tulan saya ada di situ, yang se­dang dibahas perpolitikan seperti apa dan yang dibahas seperti apa, sama sekali tidak nyambung. Mengapa? Karena para analis di dalam menganalisis fenomena politik atau kejadian politik menggunakan akal pikirannya, dan tidak menggunakan akal pi­kiran tentang fenomena itu. Fe­nomena dipaksa diterjemahkan sesuai dengan alam pikirannya sendiri. Dia tidak menerjemah­kan tentang kejadian sebenarnya sehingga kadang-kadang tidak nyambung.

Dari situlah, kerumitan ber­tambah rumit, padahal yang kita butuhkan adalah pencerahan. Itulah tiga fungsi media: fungsi edukasi, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pencerahan—kita de­dikasikan untuk membangun ke­nasionalan kita, bangsa kita, dan kita berharap ke depan teruslah cari orang-orang, guru-guru yang bisa ibaratnya menambah lam­pu-lampu, sehingga bangsa ini semakin terang.

MOHAMMAD NUH Direkam dan diedit dari sambutan lisan Mendikbud Mohammad Nuh dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan Jakob Oetama bidang ilmu jurnalistik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 5 September 2014 di Jakarta. (***)

Catatan: Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas, Selasa, 23 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun