Salah satu syarat keÂbiasaan orang memÂberikan apresiasi adalah dia sendiri pernah berprestasi atau merasaÂkan betapa berat untuk berprestasi.
Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini bisa kita bangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga tambah lama, tamÂbah besar. Kalau masyarakat kita pelit, ia jadi spiral inward yang lari ke dalam, tadinya besar tamÂbah lama tambah kempis.
Kami tak ingin bangsa ini terÂjebak pada tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Kami dorong sekecil apa pun prestasi itu, harus kami berikan pengakuÂan, apalagi prestasi dan dedikasi yang telah ditunjukkan Jakob Oetama luar biasa, bukan sekadar tahunan, tetapi sepanjang hayat, rekam jejaknya luar biasa dalam jurnalisme.
Ke depan zaman tidak makin sederhana Pasti kian rumit. BuÂku terakhir yang saya baca meÂnunjukkan begitu, tentang the simple rule, terbitan tahun 2014, bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali derajat kompleksitasÂnya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali dari yang sekarang. Artinya apa? Ke depan hampir bisa dipastikan persoalan tambah rumit. Bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?
Kemampuan berpikir
Ada dua rumus sederhana apabila kita ingin memasuki wiÂlayah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir. Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita berada pada the low thinking, Â melainkan harus kita naikkan menjadi the higher level thinking, naik lagi jadi the highest level thinking. Untuk itu, dengan segala macam kekurangan, terÂmasuk segala macam persoalanÂnya, kami menata kurikulum menjadi Kurikulum 2013. Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang tadinya terbiasa dalam wiÂlayah the low level thinking, kami dorong supaya dia bisa naik ke the higher level thinking dan the highest level thinking.
Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan berÂpikir ditingkatkan. Tidak cukup hanya kemampuan berpikir itu yang kami tingkatkan. Ibaratnya, kalau kita masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lamÂpunya mati, tambah tidak bisa kita kenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan ini ruÂmit, kalau lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir kita menghadapi keruÂmitan itu bisa kita dapatkan, perÂsoalan serumit apa pun bisa kita selesaikan. Siapakah lampunya itu? Tak lain adalah orang seperti Jakob Oetama.
Dalam bahasa lebih umum, lampu itu adalah guru. Guru dari ’gu' dan ru, jadi 'gu' the darkness. 'Gu' itu bahasa aslinya the darkÂness, the darkness of ignorance, itulah kegelapan yang diakibatÂkan ketidaktahuan atau bahasa ekstremnya barangkali kebodohÂan, tetapi saya tidak pernah menggunakan istilah kebodohan, melainkan ketidaktahuan.
'Ru'-nya the light, cahaya, deÂngan demikian kehadiran guru ibarat cahaya yang menerobos di sela-sela kegelapan. Kalau kedua faktor itu bertemu, kemampuan berpikir yang mampu mengurai kerumitan-keruwetan itu ditamÂbah dengan ada pencahayaan- pencerahan- maka serumit apa pun yang dihadapi bangsa ini, kita bisa selesaikan.
Guru yang kedua. Kalau yang pertama itu bersifat personal, guru yang kedua adalah media massa. Namanya media massa, berarti ada media dan ada massa. Antarmassa-antarmassa ini, massa apa saja dan siapa pun massa itu, berarti in between, di antara massa-massa itu, sehingga dikasih nama media massa. Kalau ruang antara massa-massa itu memerankan tiga fungsi seÂkaligus dan nanti ada tambahan satu fungsi, antarmassa akan bisa terangkai dengan baik dan akan membentuk satu bangunan kukuh.
Apa peran yang harus dimainÂkan media di antara massa-massa atau media massa? Pertama, meÂdia massa, media yang di antara massa-massa tadi itu harus puÂnya peran untuk selalu how to educate the people atau berfungsi edukatif. Begitu orang baca koÂran, bukan sekadar informasi yang dia dapat, bukan, bukan sekadar data yang dia dapatkan, tetapi kita harapkan media massa itu bisa memerankan fungsi eduÂkatifnya. Maka, setiap orang yang membaca satu media, dia akan mendapatkan data, mendapatÂkan informasi, mendapatkan pengertian dan pemahaman tenÂtang persoalan.
Tak boleh dilupakan, pada ujungnya dia akan mendapat wisdom dengan membaca koran atau membaca berita. Itulah hierarki keilmuan: data, informasi, understanding, dan wisdom, sehingga kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak sekaÂdar menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin dipesankan tentang pentingnya fenomena yang munÂcul yang diberitakan, masyarakat kita akan jadi well educated (terÂdidik).
Masyarakat terdidik
Ciri masyarakat terdidik itu tidak dengan gelar-gelar, entah itu profesor, doktor, tetapi deÂngan lebih fungsional: pertama, apakah orang itu kalau dihadapÂkan pada suatu persoalan, pola pikirnya seperti apa? Kalau pola pikirnya how to solve the problem, itu sudah memenuhi kriteria well educated. Namun, kalau pola piÂkirnya how to create the new problem, maka meskipun dia proÂfesor, meskipun dia doktor, dia belum well educated.
Ada orang: apabila menemuÂkan persoalan, dia bukan mencari solusi terhadap persoalan, tetapi persoalannya yang dipersoalkan. Karena dia tak bisa menyelesaiÂkan, maka persoalannya diperÂsoalkan. Kami tak ingin itu sebab rumus atau kebutuhan persoalan itu adalah penyelesaian.
Ciri kedua. Orang atau masyaÂrakat atau society yang well eduÂcated, kalau dia menyelesaikan persoalan, biaya menyelesaikan persoalannya rendah, baik society cost, political cost, maupun economical cost-nya. Kalau suatu maÂsyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ternyata biayanya mahal, entah itu biaya politik, biaya sosial, atau biaya ekonomi, berarti masyarakat itu belum well educated sebab masih ada cost effectiveness.
Ciri ketiga. Dalam menyelesaiÂkan persoalan itu, the society yang well educated tidak mau nabrak aturan, moral, atau segala etika yang terkait dengan kesepakatan nilai-nilai kemuliaan. Meskipun dia bisa menyelesaikan persoalan dan biaya menyelesaikan persoÂalan itu pun rendah, dalam peÂnyelesaian persoalan harus nabrak kiri-kanan, mulai dari aturan sampai etika, masyarakat itu pun belum termasuk kategori well educated. Sebaliknya masyaÂrakat itu disebut terdidik kalau dalam menyelesaikan berbiaya murah, dengan tetap menjaga aturan dan etika.
Dan yang terakhir cirinya adaÂlah kebisaan itu tepat pada wakÂtunya. Ada orang yang biasa mengalami keterlambatan, itu ibarat dalam ujian. Taruhlah waktu ujian pukul 09.00-11.00, yang penting di dalam rentangan pukul sembilan sampai sebelas itu yang bersangkutan bisa meÂngerjakan soal. Namun, yang seÂring kita jumpai, setelah pukul 11.00 tetaplah jawaban yang tadi sudah dikerjakan dan dianggap selesai. Orang macam ini tidak termasuk well educated.
Jadi, well educated atau yang terdidik itu bisa mengerjakan paÂda saat ditetapkan jadi timely proper. Itulah peran pertama yang kita harapkan dari media. Mempunyai peran untuk eduÂkasi. Ini belum cukup. Peran yang kedua adalah bagaimana memÂberdayakan, how to empower seÂluruh potensi yang kita miliki, sehingga media tidak lagi sekadar how to strengthen pilar-pilar yang ada dalam masyarakat, tetapi juÂga ikut memberdayakan, ikut em- powering. Ibarat seorang anak, kalau kakinya sudah kuat, dia lari pun bisa. Kalau kakinya tidak dibiasakan diberdayakan menenÂdang bola, dia pun tak bisa menendang bola dengan kecepatan tertentu. Media punya peran memberdayakan.
Peran yang ketiga. Sering kali perkara kita rumit, maka media mohon tidak menambah keruÂmitan. Saya bukan politisi yang tidak paham tentang ilmu politik. Namun, setiap kali ada seseorang yang mengomentari kejadian poÂlitik, saya tertawa, karena kebeÂtulan saya ada di situ, yang seÂdang dibahas perpolitikan seperti apa dan yang dibahas seperti apa, sama sekali tidak nyambung. Mengapa? Karena para analis di dalam menganalisis fenomena politik atau kejadian politik menggunakan akal pikirannya, dan tidak menggunakan akal piÂkiran tentang fenomena itu. FeÂnomena dipaksa diterjemahkan sesuai dengan alam pikirannya sendiri. Dia tidak menerjemahÂkan tentang kejadian sebenarnya sehingga kadang-kadang tidak nyambung.
Dari situlah, kerumitan berÂtambah rumit, padahal yang kita butuhkan adalah pencerahan. Itulah tiga fungsi media: fungsi edukasi, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pencerahan—kita deÂdikasikan untuk membangun keÂnasionalan kita, bangsa kita, dan kita berharap ke depan teruslah cari orang-orang, guru-guru yang bisa ibaratnya menambah lamÂpu-lampu, sehingga bangsa ini semakin terang.
MOHAMMAD NUH Direkam dan diedit dari sambutan lisan Mendikbud Mohammad Nuh dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan Jakob Oetama bidang ilmu jurnalistik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 5 September 2014 di Jakarta. (***)
Catatan:Â Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas, Selasa, 23 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H