Mohon tunggu...
Mohammad Khalil
Mohammad Khalil Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadhan Terakhir

12 Desember 2014   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Duuuaaaaaar!!!Duuuuaaaaaaaaaar!!! Duuuuuuuuaaaaaaar!!!

Buuuuuuuuuuuummmmm !!!!!

Kebakaran !!! Kebakaran !!! Kebakaran !!!

Lalu, terlihat hiruk pikuk yang luar biasa. Kacau. Sebagian besar laki-laki di kampung itu, berlari kesana ke mari.Hampir bertubrukan. Dengan membawa peralatan sekenanya dan seadanya, mereka segera kerja bakti. Sebagian menolong korban. Sebagian berlari ke parit-parit dekat persawahan depan rumah mereka.Yang kebetulan airnya tidak pernah habis, meskipun sedang musim kemarau seperti saat ini. Sebagian lagi berlari menuju sumur belakang rumah yang paling dekat dengan tempat kejadian.

Lalu tanpa diperintah, mereka berdiri berjajar. Dengan membawa ember atau wadah seadanya, mereka mengambil air parit atau sumur. Kemudian, secara estafet mereka memberikan air-air dalam ember atau kaleng-kaleng bekas cat itu ke orang-orang di sebelahnya. Kelihatannya, yang paling ‘sengsara’bekerja adalah yang terdekat dengan parit atau sumur. Aroma keringat bercampur panik yang demikian hebat, bercucuran, mengalir deras membasahi tubuh gelap mereka. Otot-otot bermunculan dari lengan gempal mereka. Mereka yang biasa hidup sengsara, namun tak pernah melupakan prinsip gotong royong dan kompak. Prinsip yang didapatkan secara turun temurun dari moyangnya. Meskipun tak jarang pemerintah daerah sedikit kewalahan dengan sikap ini.

Bagaimana tidak kewalahan ? Prinsip gotong royong dan kompak ini telah membuat penduduk di kampung ini menolak hal-hal yang bersifat baru. Dalam pikiran mereka, semua itu tidak penting. Yang penting adalah bisa makan dan berbagi, meskipun sederhana. Selama kebutuhan sederhananya tercukupi, beres. “ Mangan ora mangan, pokoke kumpul “ begitu kata mereka.

Salah satu hal baru yang mereka tolak adalah air yang dikelola oleh PDAM. Penduduk di kampung itu belum mau disentuh olehair dari PDAM. Banyak alasan yang membuat mereka tidak mau memakai air PDAM. Yang bau kaporitlah. Yang tidak lebih sehat dari air sumurlah. Yang tak alamilah. Yang mahallah. Pokoknya ada saja alasan menolak pengaliran air PDAM ke kampung mereka. Padahal pemerintah kota tidak kurang-kurang memberikan pengarahan, agar mereka lebih bisahidup sehat dan ‘makmur’. Mereka tidak peduli.

Jika ada kejadian yang berhubungan dengan bencana yang memerlukan air yang banyak dan cepat, seperti kebakaran kali ini, mereka tidak mengeluh. Meskipun harus merasakan capek yang hebat. Menelan waktu yang tidak sebentar. Dan dilanda kepanikan yang luar biasa. Karena takut rumah mereka ikut hangus dan luluh lantak, akibat kebakaran yang mengerikan ini.

Kebakaran yang disebabkan oleh salah satu penduduk kampung yang terkenal ‘bandel’ dan ‘atheis’, bernama Gimo Gemblung. Gimo gila, begitu artinya. Lelaki bujang yang biasa dipanggil ‘Mblung’.Hidup sendiri. Tidak memiliki saudara dan orang tua. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Kurang lebih 10 tahun yang lalu.

Gimo Gemblung tidak mengenal dan tidak mau mengenal Tuhan. Meskipun penduduk kampungnya berusaha membimbingnya untuk mengenal Tuhan sesuai agama di KTPnya. Gimo Gemblung tak bergeming. Kokoh pendirian. Alasannya, dia marah pada Tuhan. Sakit hati pada Tuhan. Karena Tuhan telah tidak adil dan tidak sayang padanya. Dia harus kehilangan kedua orang tuanya di usia yang masih sangat belia. Untuk membalas dendam pada Tuhan, maka yang dilakukannya adalah melanggar semua perintah Tuhan.

Sabung ayam. Mabuk. Judi. Malak. Semua perbuatan buruk itu dilakukan secara terang-terangan tanpa ditutup-tutupi. Tanpa malu-malu. Dan hampir setiap hari, .“ Inilah pembalasanku pada Tuhan! ” katanya dengan bangga. Akibatnya, tak jarang dia disiram air got oleh orang dari kampung sebelah yang terganggu oleh teriakannya ketika mabuk. Bahkan,kadang dia dipukuli oleh teman-temannya sesama pemabuk dan penjudi, karena kecurangannya. Namun, tak ada kata kapok baginya. Mabuk terus pantang mundur, itulah mottonya yang berlaku setiap saat. Termasuk saat ini. Saat puasa Ramadhan,

Jangankan puasa. Menghormati bulan dan orang yang puasapun dia enggan.Lapar. Haus. Buang-buang waktu. Capek. Tidak penting. Tidak bisa menghidupkan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Dan masih banyak lagi alasan yang sengaja dibuatnya, jika ada penduduk kampungnya yang sekedar mengajak dan mengingatkan untuk beribadah sesuai agama yang ada di KTPnya dan menghormati orang lain.

Yang paling menjengkelkan tetangganya, adalah ketika diajak sholat, jawaban Gimo Gemblung sambil terbahak mengejek,Dah, titip salam saja sama Tuhan. Bilang aku masih repot, sibuk, danbanyak urusan. Urusan sabung ayam dan mabuk “. Kalau sudah mendapat jawaban yang menyakitkan seperti itu, tetangganya hanya bisa geleng kepala, mengelus dada dan istighfar, sambil pergi menjauh dari GimoGemblung. Benar-benar keterlaluan. Benar-benar tidak tahu diri.

Seperti yang dilakukannya kali ini.

Ya…Kebakaran yang terjadi ini akibat ulah Gimo Gemblung yang keterlaluan, ugal-ugalan, dan ‘atheis’ itu. Di bulan yang suci ini, dia tetap melaksanakan semua hobinya dengan santai. Dini hari, di saat semua orang bangun untuk sahur, dia ikut bangun. Tapi tidak untuk sahur, melainkan untuk mencicipi minuman keras yang entah dimana belinya. Memang tidak sampai mabuk. Setelah itu, ia akan ikut keliling kampung untuk patrol Ramadhan. Dan ketika patrol selesai, dilanjutkan dengan sholat Subuh berjamaah di mushola, maka Gimo Gemblung bergegas kembali ke rumah untuk melanjutkan minum sampai mabuk, kemudian tidur pulas, merangkai mimpi.

Siang hari, ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala, barulah dia tersadar. Bangun. Tidak ada kamus baginya untuk beribadah. Seperti biasa, dia hendak menjalankan hobinya dengan penuh semangat. Kesenangan dan kegembiraan terpancar di wajahnya yang kusam. Dibayangkannya keramaian yang dahsyat ketika sabung ayam berlangsung.” Ah, bakal ramai hari ini “, katanya dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Tapi, entah mengapa, setelah sekian lama ditunggunya, tidak ada seorangpun temannya yang datang ke rumahnya untuk mengajaknya sabung ayam. Teman-temannya itu bukan orang-orang kampungnya. Sehingga orang kampungnya tidak mengenal teman-temannya itu. Mereka datang silih berganti.

Karena bosan menunggu, kegilaan dan sifat iseng Gimo Gemblung muncul. Tanpa berpikir dua kali,dia mulai menyiapkan semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat petasan. Petasan yang super besar untuk dinyalakan saat lebaran nanti. Lebaran yang hanya kurang seminggu. Gimo Gemblung mau membuat lebarannya kali ini meriah dan menyenangkan baginya dan bagi semua anak kecil di kampungnya.

Tiba-tiba hati Gimo Gemblung merasa sedih. Dia teringat kedua orang tuanya yang telah meninggalkannya kurang lebih 10 tahun yang lalu. Dia sangat rindu pada orang tuanya. Terutama ibunya. Dia merasakan sunyi telah menyergapnya. Tidak enak tidak punya siapa-siapa. Seminggu lagi, hari yang fitri itu bakal dilaluinya sendiri. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Sendiri dan sunyi yang menyayati hatinya.

Tidak hanya itu, Gimo Gemblung juga sadar, bahwa dia telah membuat malu almarhum kedua orang tuanya dan menyusahkan penduduk kampungnya. Terutama tetangga dekatnya. Tak ada yang bagus dari dirinya. Tak ada yang bisa dibanggakan darinya. Penyesalan mulai merayap di relung hatinya. Rindu, sunyi, penyesalannya telah mampu membuat mata Gimo Gemblung menitikkan air mata. Air mata yang kian deras, tatkala dia teringat usapan lembut tangan ibunya saat dia menangis. Bu, kapan pulang? Aku sangat kangen, Bu “ gumamnya lirih.

Seolah tak mau larut dalam kesedihan, lalu dihelanya nafasnya panjang-panjang dan segera diusapnya air matanya dengan lengan tangannya. Malu kalau sampai ketahuan tetangganya. Gimo Gemblung harus tegar. Tidak boleh menangis. Tidak boleh cengeng. Oleh karenanya, Lebaran nanti, aku mau dan harus minta maaf pada mereka,” begitu janjinya dalam hati sambil meneruskan persiapannya membuat petasan yang super besar.

Dan semua berjalan sesuai rencananya. Setelah semua bahan petasan siap. Maka Gimo Gemblung mulai meracik dan merangkainya. Tidak lama. Karena dia memang sudah sering membuatnya bersama teman-temannya yang kacau itu. Tinggal dijemur saja.

Sambil menuggu petasan super besarnya kering, Gimo Gemblung tiduran di balai-balai bambu peninggalan ayahnya, yang ada di teras rumahnya. Rumah yang sangat tidak terurus dengan halaman yang kotor, ditumbuhi rumput kering, dan semak belukar yang tidak terurus pula. Dan teras yang tidak luas itu sangat dekat dengan petasan yang dijemurnya. Lalu, disulutnya sebatang rokok pemberian temannya dua hari yang lalu.Puntung korek dibuangnya begitu saja. Gimo Gemblung lupa, di dekatnya petasan super besarnya sedang dijemur.

Lalu ...

Gimo Gemblung merasakan panas yang luar biasa menyengat seluruh tubuhnya. Kulit tubuhnya seakan dikupas. Diaberteiak-teriak menolak api yang melahapnya tanpa ampun. Di tengah teriakan dan suara ledakan petasan lebarannya itu, tetangganya ribut luar biasa. Berusaha menolong dan menyelamatkannya. Dan juga berusaha menyelamatkan rumah-rumah mereka sendiri. Gimo Gemblungsadar, bahwa diasudah tidak berdaya. Tidak ada lagi harapan baginya.

Dalam kepasrahannya, dilihatnya bayangan ibunya mendekatinya. Memeluknya erat. Erat sekali. Lalu, sambil tersenyum ibunya seolah-olah mengajaknya menyebut kalimat yang asing di telinganya. Kalimat yang selama ini menjadi bahan ejekannya. Gimo Gemblung malu. Air matanya mengalir perlahan di ujung matanya yang mulai meredup. Membasahi wajahnya yang telah hitam gosong. Dengan nafasnya yang satu-satu, dan dalam dekapan ibu yang dirindukannya selama ini, dari mulutnya terucap: LAA ILAHA ILALLOH...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun