Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senandung Kaum Pinggiran

24 Oktober 2016   10:04 Diperbarui: 25 Oktober 2016   09:28 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ku rela pergi pagi pulang pagi

Hanya untuk mengais rezeki

Doakan saja aku pergi

Semoga pulang dompetku terisi.."

Nadir bangkit dengan malas, setelah sebelumnya membungkam mulut Rizal Armada dengan jempol tangannya persis saat jam di hape nya menunjukkan pukul 3 dini hari. Rutinitas yang sudah setahun belakangan ini dia lakukan, setelah dia memutuskan untuk mengkredit perumahan di luar Jakarta.

Tidak lebih dari setengah jam bagi Nadir untuk membersihkan diri sekaligus mempersiapkan peralatan perangnya, dia sudah duduk di atas motor tuanya, setelah mengucap salam kepada istri tersayang sejurus kemudian dia cepat menarik gas membelah temaram meski di masjid belum lagi terdengar suara adzan. Ini kudu dia lakukan agar tak lelah sampai ke utara Jakarta, tempat dia bekerja. 

Terlambat sebentar saja jalan alternatif Cibubur tak ubahnya medan kurusetra, yang memaksanya mengeluarkan segenap kemampuan berkendaranya, dengan beragam jurus yang telah dia pelajari. Ada jurus menyalip di ruang sempit. Ada jurus menyodok dari pojok. Ada jurus memaki saat dihalang-halangi, "wooii kuampreet.. lu kira jalanan bapak moyang luu?"

Dan jurus pura-pura tuli saat dia yang dimaki, "woooii dodol.. punya mata gak luu?"

Nadir, satu dari sekian banyak wajah-wajah lelah yang tak hendak menyerah pada ibu kota yang kerap menciptakan kesah.

Ibu kota yang semakin hari semakin mencipta segregasi antara kelas rendah dan kelas menengah.

Satu dari sekian banyak wajah yang berjuang setengah mati agar tak menjadi korban penggusuran karena menempati rumah-rumah yang katanya ada di atas tanah negara. Sebuah cerita klasik untuk menjustifikasi keserakahan orang-orang pongah, yang merasa paling pantas menikmati kemewahan palsu ibu kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun