[caption caption="Ilustrasi. Pribadi"][/caption]
"Siapapun bisa memakan apapun. Manusia memakan anjing, seorang majikan memakan babunya, di sudut lain seorang gadis memakan pacarnya, air memakan jalanan, api memakan rumah-rumah, di satu selokan seekor anjing tak perlu menunggu malam untuk memakan bangkai manusia.
Siapa yang peduli? Semua manusia dan binatang dan benda-benda dan kenangan dan harapan berebut untuk hidup di kota ini. Mereka hanya perlu saling memakan."
Demikian, Eka Kurniawan menggambarkan Jakarta dalam novel gemuknya, "O". Sebuah novel yang mengisahkan tentang monyet betina bernama O, yang bercita-cita menjadi manusia. Hingga O harus rela--dan mulai senang-- di eksploitasi bossnya, pawang topeng monyet, yang gemar meminum bir oplosan. Asalkan O bisa terus berperan layaknya seorang ibu rumah tangga yang berlenggak-lenggok ke pasar, bisa menjadi prajurit yang memanggul senjata, bisa mengendarai motor seperti manusia.
Di kota itu, O banyak belajar. Dari kaleng sarden milik rombongan kecil topeng monyet, O mengenal arti sebuah kesabaran. Dari Kirik, seekor anjing kecil yang kenyang akan penderitaan dan perlakuan kejam seorang majikan, O mengenal arti kebebasan.
Di kota yang pada awal abad 19 dinarasikan oleh Tim Hannigan dalam bukunya 'Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa' sebagai kota yang pantainya kering, berlumpur, dan berbau busuk dengan angin darat yang hangat dan lembab, nyaris tak menjanjikan apa-apa selain penyakit kulit dan malaria. O melabuhkan harap.
Kota itu, seperti sebukit gula bagi segerombolan semut, juga seperti sekerat daging bagi segerombolan lalat. Ia manis bagi makhluk-makhluk yang berhasil bersahabat dan benar menikmatinya, ia busuk dan mengandung penyakit bagi makhluk-makhluk yang rakus memakannya dengan menghalalkan berbagai cara. Dan O, ingin seperti yang pertama.
Dan kota yang tengah menanti tuan barunya itu, dengan segala suram dan kilaunya, tetap menjadi harapan dan mimpi bagi banyak makhluk. Termasuk O, Kirik, Kaleng Sarden, si pawang monyet, juga sepasang pemulung tua.
Jika untuk sebuah visi-misi, di sana; seorang perwira sampai rela menanggalkan karir militernya yang gemilang, seorang laki-laki sampai rela melompati pagar api, seorang mantan menteri sampai rela turun gunung membuat janji. Maka wajar, bila seekor monyet seperti O, terus memelihara mimpi.
Â
Bogor, 10022017