Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Santri Nasional, Oase di Tengah Keringnya Ukhuwah

24 Oktober 2016   14:11 Diperbarui: 24 Oktober 2016   14:54 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elvan & Elnino | Koleksi Pribadi

"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Allahu Akbar!"

Demikian orasi yang menggelegar dari Bung Tomo. Pekikan peletup perjuangan di Surabaya pada 10 November 1945 itu tidak lain adalah sebuah  manifestasi resolusi jihad yang dicetuskan KH Hasyim Ashari pada tanggal 22 Oktober 1945, yang sekarang ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.

Bagaimanapun, kemerdekaan bangsa ini tidak terlepas dari perjuangan para santri, sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Hasyim Ashari, KH Ahmad Dahlan, dan yang gak bisa kita lupakan H Misbach, santri yang pada akhirnya lebih memilih berjuang bersama Semaoen, salah satu murid HOS Cokroaminoto yang berhaluan marxisme.

Jika hari ini, peringatan Hari Santri Nasional bertepatan dengan polemik tafsir Al Maidah 51, yang tiba-tiba begitu populer menjelang Pilkada DKI, kita seharusnya memahami itu sebagai salah satu rencana Allah. Untuk melihat sejauh mana kedewasaan umat, sejauh mana kearifan para santri menyikapi perbedaan-perbedaan. 

Dan Jika hari ini kita masih terprovokasi, kita masih menyikapi perbedaan dengan cara yang norak, mari sama-sama berkontemplasi, sama bermuhasabah, susuri ruang-ruang gelap dalam sanubari kita, adakah kita tengah membela agama-Nya?

Bahkan Bung Karno, Sang Proklamator kita membentuk bangsa ini dari keping-keping perbedaan yang tercecer di sepanjang Nusantara, kok kita yang tinggal mengisi kemerdekaan tanpa perlu keluar masuk bui, tanpa perlu berdarah berperih, tanpa perlu meninggalkan anak bini segitu kakunya menyikapi perbedaan. 

Apa kita harus menunggu air turun dari langit selama empat puluh hari empat puluh malam untuk sekedar melembutkan hati kita?

Lah kita ini sebenernya manusia apa seonggok kanebo kering?

Saya pribadi yang bukan seorang yang tumbuh dan besar di lingkungan santri, sangat mengagumi santri-santri cerdas, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Ashari, KH Idham Khalid, Buya Hamka. Mereka santri yang berbeda secara organisasi, tapi begitu indah menyikapi perbedaan.

Saya pernah mendengar kisah, saat KH Idham Khalid dan Buya Hamka berada di satu kapal dalam sebuah perjalanan ke tanah suci. Satu ketika, KH Idham Khalid yang seorang kyai NU mengimami sholat subuh. Jamaah yang mengikuti sholat shubuh saat itu sebagiannya warga NU, sebagian yang lain warga Muhammadiyah. Sebagian warga NU sempat heran ketikà Kyainya tidak memakai qunut. Esoknya ketika Buya Hamka yang mengimami justru sebaliknya, Buya Hamka memakai qunut, gantian warga Muhammadiyah yang terheran-heran. 

Begitulah, cara orang-orang berilmu menyikapi perbedaan, beda dengan kita -eh saya aja dah daripada dibotakin ame para santri- yang cuman beda rakaat tarawih aja debat nya gak selesai-selesai dari jaman harga satu biji kerupuk 10 perak sampe hari ini kerupuk udah 1000 sebiji, itu juga kadang udah alot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun