Namaku Langit, Langit Senja. Nama yang puitis kata orang-orang. Kata ayah, ia ingin anak laki-lakinya bisa menjadi seseorang yang egaliter, memandang semua manusia sama, tanpa pandang bulu, dengan pandangan yang teduh, seteduh langit di waktu senja. Usiaku saat ini sudah menjelang 30 tahun. Jomblo, tentu saja. Senang kalian membacanya? Puas? Laki-laki yang memiliki nama begitu puitis tapi masih jomblo di usia yang sudah tak lagi remaja.Â
Kemana saja kau, Langit? Tak adakah wanita yang menarik hatimu? Atau mereka yang tak tertarik padamu? Begitu bukan, sederet pertanyaan yang ingin kalian ucapkan?
Aku memang tak ke mana-mana, kecuali bekerja dan sesekali mendaki gunung saat liburan. Aku terkadang begitu menikmati kesunyian, gerah dengan hingar bingar. Hanya buku, handphone berikut headset yang selalu mendekap telingaku, serta secangkir kopi  yang menjadi teman setiaku, menemaniku menghabiskan waktu setelah penat bekerja.Â
Begitulah, aku memang tak ke mana-mana jika kalian bandingkan aku dengan pemuda seusiaku yang gemar clubbing, nongkrong dan semacamnya. Kalian boleh sebut aku introvert, kuper, enggak gaul atau apalah.Â
Soal wanita, bukannya tak ada yang menarik hatiku atau sebaliknya. Aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita, dan semua berujung kecewa. Kalau tidak aku yang kecewa karena ulah mereka.Â
Ya sebaliknya, mereka yang menyerah dengan ulahku. Bukankah hidup memang seperti itu? Dikecewakan atau mengecewakan, ditinggalkan atau meninggalkan. Berapa banyak sih manusia yang mampu bersabar dalam kekecawaan dan bertahan dalam keperihan?Â
Tapi, itu aku beberapa waktu yang lalu. Saat ini, setelah aku mendengar suara seorang gadis yang begitu lembut dan terkesan manja, ku jatuh hati pada pendengaran pertama, karena mulanya aku tak melihat wajahnya. Kami berkenalan lewat sebuah aplikasi karoke online. Aku membuat sebuah OC (Open Collaboration) lagu Padi dan dia bergabung melengkapi part lagu yang kosong. Dan aku takjub mendengar suara lembutnya. OC-ku jadi lebih bagus, suara serak ngehekku tertolong suara lembutnya. Kami berkenalan. Berlanjut dengan saling bertukar cerita, berbagi tawa, dan berbalas puisi. Cinta sejati itu ada ternyata. Begitu gumamku, saat kusadari ku jatuh hati padanya. Pun sebaliknya. Kami seperti sekeping hati yang terpisah, sangking banyaknya kesamaan dalam berbagai hal. Buku, puisi dan kopi salah tiganya.
Yaya, begitu ia ingin dipanggil. Adalah gadis bersuara lembut yang terdengar manja dan menggemaskan, itu kesanku, sebelum akhirnya kutahu Yaya ternyata gadis yang sangat mandiri dan kreatif. Usianya belum genap 25 tahun, tapi bisnis kue dan tanaman hiasnya sudah bisa membiayai hidupnya, bahkan berkelebihan.
Aku yang hanya karyawan biasa, auto inferior, mendadak jadi kurcaci di hadapannya. Ah, nasib, nasib. Begitu ketemu cinta sejati enggak tanggung-tanggung, kelas kakap. Dan aku bingung. Harus maratap sedih atau melompat girang. Entah akan seperti apa hubungan kami nantinya.Â
Karena meskipun sudah setahun kami saling mengenal dan bertukar cerita, belum sekalipun kami bertemu langsung. Kami terpisah ruang dan waktu. Semoga, satu hari nanti. Saya tipikal penganut falsafah "biarkan semua mengalir seperti air". Namun, setidaknya, kalian bisa melihatnya dari cara kami berkomunikasi.
"Hei, perempuan! Kamu tuh seperti puisi kadang rumit dan sulit kufahami. Seperti mimpi yang samar dan mustahil kuraih. Tapi, seperti halnya daun yang diembus angin, aku merasa lebih hidup saat berbincang denganmu." Godaku, yang kutulis dalam sebuah pesan.Â