Hidup memang begitu, menjajah atau dijajah, memerintah atau diperintah, bahkan saya adalah penjajah. Atau dipaksa menjadi penjajah karena dijajah. Karena bisa jadi tanah perumahan tempat kami tinggal saat ini, adalah tanah si ibu yang dijual kepada pihak pengembang, dan si ibu akhirnya menempati bukit bertuan di atas sana. Saya ternyata tak lebih dari seorang pendatang yang tersingkir oleh pendatang.
Saya teringat percakapan saya dengan abang saya pada suatu malam, di depan warung kecilnya.
"Dulu ini semua tanah engkong, rumah kita satu-satunya di wilayah ini. Sekarang kita ngontrak di tanah kita sendiri."
Saya diam, berusaha mengingat, rumah dan pohon-pohon yang mengelilinginya. Rambutan, kecapi, buni, nangka, kapuk, mede dan selainnya.
"Seseorang tidak bisa hidup tanpa berusaha mendominasi atau menguasai." kata Albert Camus dalam novelnya "The Fall".
Benarkah? Entahlah
Usai berpamitan dengan si Ibu yang tengah duduk di balai bambu itu, saya dan yang lain meneruskan perjalanan. Saat melintasi sebuah tanah kosong di belakang rumah si ibu, saya melihat papan nama bertuliskan nama pemilik tanah dan ukuran tanah yang dimilikinya. Saya menelan ludah.
Kurang lebih satu jam kami mendaki dan menuruni bukit yang berakhir di sebuah mata air kecil, yang jaraknya tak lebih dari 300 meter di sebelah selatan perumahan kami, tempat kami membasuh kaki dan menceburkan diri. Segar sekali.
Saya masih teringat percakapan dengan si Ibu di bukit tadi. Ah, semoga keperihan dan kemasygulan itu luruh bersama jatuhnya debu, lumpur dan keletihan di tubuh kami.