Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagogog, Sebuah Cerita dari Atas Bukit

29 Maret 2017   22:46 Diperbarui: 7 September 2019   17:13 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis di Bukit Bagogog / Foto : Dok. Pribadi


Nino di Bukit Bagogog / Foto : Dok. Pribadi
Nino di Bukit Bagogog / Foto : Dok. Pribadi

Hidup memang begitu, menjajah atau dijajah, memerintah atau diperintah, bahkan saya adalah penjajah. Atau dipaksa menjadi penjajah karena dijajah. Karena bisa jadi tanah perumahan tempat kami tinggal saat ini, adalah tanah si ibu yang dijual kepada pihak pengembang, dan si ibu akhirnya menempati bukit bertuan di atas sana. Saya ternyata tak lebih dari seorang pendatang yang tersingkir oleh pendatang.

Saya teringat percakapan saya dengan abang saya pada suatu malam, di depan warung kecilnya.

"Dulu ini semua tanah engkong, rumah kita satu-satunya di wilayah ini. Sekarang kita ngontrak di tanah kita sendiri."

Saya diam, berusaha mengingat, rumah dan pohon-pohon yang mengelilinginya. Rambutan, kecapi, buni, nangka, kapuk, mede dan selainnya.

"Seseorang tidak bisa hidup tanpa berusaha mendominasi atau menguasai." kata Albert Camus dalam novelnya "The Fall".

Benarkah? Entahlah


Nino dan beberapa warga perumahan / Foto : Dok. Pribadi
Nino dan beberapa warga perumahan / Foto : Dok. Pribadi

Usai berpamitan dengan si Ibu yang tengah duduk di balai bambu itu, saya dan yang lain meneruskan perjalanan. Saat melintasi sebuah tanah kosong di belakang rumah si ibu, saya melihat papan nama bertuliskan nama pemilik tanah dan ukuran tanah yang dimilikinya. Saya menelan ludah.

Kurang lebih satu jam kami mendaki dan menuruni bukit yang berakhir di sebuah mata air kecil, yang jaraknya tak lebih dari 300 meter di sebelah selatan perumahan kami, tempat kami membasuh kaki dan menceburkan diri. Segar sekali.

Saya masih teringat percakapan dengan si Ibu di bukit tadi. Ah, semoga keperihan dan kemasygulan itu luruh bersama jatuhnya debu, lumpur dan keletihan di tubuh kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun