Selasa pagi, tanggal merah terakhir di bulan maret. Saya, Nino (putra kedua saya) dan beberapa laki-laki dewasa berjalan menjelajahi bukit kapur. Bukit yang masih hijau sebagiannya, belum terjamah pahat dan backhoe (sejenis excavator atau alat penggali) itu masih menawarkan kesejukan.
Di bukit yang masih hijau itu ada sebuah perkampungan, Kampung Bagogog namanya, yang dihuni oleh penduduk asli Kelapa Nunggal (salah satu kecamatan di Bogor). Jarak dari rumah ke rumah masih longgar. Beberapa bahkan dipisah oleh tanah lapang atau pohon-pohon besar beralas rumput hijau liar.
Saat yang lain asik membasuh muka dan kaki dengan aliran air dari mata air yang ditampung di beberapa kolam sebesar kamar perumahan sederhana dengan kedalaman sepinggang orang dewasa, saya sempatkan menyapa seorang ibu yang sedang duduk di balai bambu di depan rumahnya yang berdinding anyaman bambu.
"Permisi bu, kalau ke sana itu ada jalan ya?" tanya saya seraya menunjuk ke arah sebuah daerah serupa hutan teduh yang dinaungi pohon-pohon besar. Ada seorang ibu dan anak laki-laki yang tengah melewati daerah itu.
"Ada dek, itu jalan ke kampung Bagogog juga!"
"Oh, saya kira ada jalan memotong ke kahuripan, ibu asli sini?"
"Iya dek, ibu asli sini tapi gak punya apa-apa."
"Maksudnya bu?"
"Iya, rumah ini, tanah ini, bukan punya ibu, ibu cuma numpang, pemiliknya orang Jakarta. Bahkan sebagian besar tanah di bukit ini, katanya sudah dibeli beberapa orang dari Jakarta."
Ada keperihan di setiap kata yang ia ucapkan, saya bisa merasakannya. Semua yang pernah terpinggir dari tanah kelahirannya bisa merasakannya. Wajahnya terlihat masygul, sorot matanya menerawang menyulam waktu dan peristiwa yang entah.