Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bui

19 Januari 2017   22:54 Diperbarui: 20 Januari 2017   05:46 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto : iphinchow.com"][/caption]Sudah sebulan ini aku memperhatikan Hardi bolak-balik Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Entahlah, anak itu seperti sedang menjalankan ritual khusus di tempat berkumpulnya para pesakitan itu. Aku pernah menanyakan tentang kebiasaan barunya itu ketika tanpa sengaja berpapasan di ujung jalan yang menuju rumah kami. Dia hanya menjawab, "aku hanya meminta mereka mendoakanku".

"Mendoakan? Bagaimana mungkin? Bukankah mereka orang-orang yang melanggar norma dan aturan-aturan hukum, bukankah mereka orang-orang yang tak takut kepada Tuhannya?" aku membathin, cecaran pertanyaan memburu pikiranku.

Karena penasaran, siang ini aku memutuskan untuk ikut Hardi. Meski awalnya ia sempat kaget, dari rautnya aku melihat siluet keberatan, tapi demi melihat kesungguhanku akhirnya ia mengizinkanku untuk menemaninya.

"Ada bagusnya juga aku menyertakanmu, kita bisa lebih banyak membawa makanan untuk mereka," katanya diikuti senyum.

Pukul dua kurang sepuluh menit, saat kami mulai mendaftar dan mengisi form sebagai persyaratan besuk. Kurang dari lima belas menit menunggu, kami dipanggil petugas yang mengarahkan kami untuk masuk ke sebuah ruangan.

Di dalam ruangan sudah ada empat orang napi, mereka berdiri dan menyalami kami. Dengan Hardi, mereka sempat saling berpelukan. Akrab sekali, seperti kawan lama. Seorang petugas yang juga sudah cukup akrab dengan Hardi mempersilahkan kami duduk.

Kami makan bersama, mereka bercerita tentang perjalanan hidup yang membawa mereka sampai ke tempat ini. Di mana detik terasa sangat lamban berputar. Dan malamnya, jauh lebih suram dari ruang gelap bioskop murahan yang memutar kenangan-kenangan yang setengah mati ingin mereka lupakan.

Aku hanya mendengarkan, Hardi sesekali menyela pembicaraan dengan kelakarnya, semata hanya untuk menumbuhkan seserpih bahagia ditengah timbunan penyesalan mereka.

Kurang lebih satu jam kami bersama, kami pamit. Hardi kembali memeluk mereka satu persatu. Kepada yang terlihat paling berumur diantara ketiganya, Hardi berkata pelan tapi cukup jelas terdengar olehku,

"Doakan kami bang, agar selalu bisa bersyukur atas segala nikmat-Nya, agar kami diampuni dari segala kesalahan, abang tetap semangat, Tuhan sayang abang dan kawan-kawan di sini."

Orang yang dipanggil abang tersenyum--sungguh aku sulit mengartikan senyum itu--seraya berkata, "pasti Di, pasti, kamu orang paling aneh, dan paling baik yang pernah abang kenal, terima kasih."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun