Kita merindukan negara yang semakin baik. Negara yang hebat, maju, makmur dan sentosa. Negara yang menguasai teknologi, yang ekonominya tidak morat-marit, yang ekspornya jauh melebih impornya, kualitas SDMnya tinggi, korupsi sangat rendah (malah kalau bisa nol), serta birokrasi yang teratur. Kita merindukan layanan kesehatan yang baik, dan kriminalitas yang jarang sehingga penjara sepi.
Selama ini kita selalu menganggap bahwa itu semua bisa terwujud melalui sistem pemerintahan yang baik. Konsekuensinya, kita butuh pemimpin yang mumpuni. Dalam teori kepemimpinan memang ada teori bahwa sumber dari majunya sebuah negara atau apapun adalah dari pemimpin yang cerdas memimpin. Melalui kecakapan seorang pemimpin maka lahirlah sistem kepemimpinan yang efektif.
Tapi kadang kita lupa, pemimpin yang baik lahir dan tumbuh dari lingkungan yang kondusif, yang mendukung terciptanya bakat-bakat kepemimpinan yang baik pula. Sebagai contoh, seorang pemimpin mustahil lahir dari masyarakat yang penyakit korupsinya sudah kronis. Bisa dipastikan, masyarakat yang koruptif hanya akan mendorong lahirnya calon-calon pemimpin masa depan yang lebih koruptif dibanding generasi sebelumnya.
Menyikapi preseden itu (jika memang masyarakat kita sekarang memang sudah tidak kondusif melahirkan pemimpin yang ideal), maka kita butuh pengkondisian masyarakat di mana calon-calon pemimpin dipupuk dan ditempa serta dididik dengan nilai-nilai yang merupakan prasayarat utama lahirnya pemimpin. Salah satunya, kita mestinya mulai membudayakan hidup sederhana, tapi dengan cita-cita yang besar.
Kita juga mesti berani mengatakan pada anak-anak kita, bahwa calon pemimpin yang baik adalah yang berani mengubah keadaan, yang merasa bahwa segala sesuatunya pasti akan lebih baik jika mau menyuarakan kebaikan itu tidak dengan kata-kata, melainkan tindakan. Soalnya, kita sudah terbiasa dengan dogma, retorika, kotbah, kata-kata mutiara. Budaya timur adalah gudangnya kata-kata mutiara, ditambah lagi dengan ajaran agama kita. Tapi implementasinya adalah hal lain yang belum senada-seirama.
Maka, sekali lagi, bangsa hebat butuh rakyat yang hebat. Mari kita lihat negara-negara yang sudah maju di dunia. Sistem yang dibangun untuk kepentingan rakyatnya disambut rakyatnya dengan respon yang tak kalah hebatnya. Hal yang kelihatannya sepele, namun urgen, sebagai contoh, budaya antri. Di Inggris, orang malu untuk tidak antri.
Di Indonesia, di jalan raya, para pengendara rata-rata tidak mengindahkan zebra-cross, tetap saja melaju di saat pejalan kaki hendak menyeberang. Aneh sekali, padahal untuk menghentikan mobil/motornya tak sampai satu menit. Di Inggris, saya tidak pernah mengalami harus bersabar lama untuk menyebrang, karena begitu berdiri di tepi jalan, dekat zebra-cross, maka mobil/bus/motor akan segera berhenti serentak dan menyilakan saya untuk menyebrang.
Di kita, membuang sampah tidak pada tempatnya hampir sama kronisnya dengan mengambil yang bukan haknya (baca: korupsi). Maka, jangan salah kalau saya meyakini bahwa kedisiplinan membuang sampah pada tempatnya nantinya akan berbanding lurus dengan sikap antikorupsi seseorang di kemudian hari. Sebaliknya, saya yakin mereka yang kini dikerangkeng oleh kasus korupsi (baik yang sedang dalam proses pengadilan maupun yang sudah dipenjarakan) dulunya pasti suka membuang sampah sembarangan.
Dus, saya jadi ingat dengan status seorang teman saya, yang kebetulan sedang studi di Jepang. Katanya, "negara hebat itu bukan cuma karena pemimpinnya hebat, tapi karena masyarakatnya hebat: mau antri, buang sampah pada tempatnya dan mendapatkan uang dari keringatnya sendiri".
Diam-diam saya jadi tidak terlalu terkejut manakala menonton berita dari TV streaming mengenai tragedi kereta api versus truk tangki BBM di perlintasan kereta api di Bintaro beberapa waktu lalu. Ya, meskipun banyak faktor yang menjadi penyebab, tapi saya tetap meyakini hipotesa bahwa supir truk yang baik dan disiplin tidak akan mau menerabas perlintasan kereta api secara membabibuta seperti itu. Kita tampaknya masih 'bermimpi' untuk menuju bangsa hebat, manakala kita sendiri belum juga mau hebat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H