Tak terasa hiruk-pikuk pesta demokrasi usai sudah di negeri kita. Tak pelak, momen ini benar-benar menyita perhatian dan kesadaran bahkan juga energi semua orang. Mereka yang sehari-hari jauh dari aktivitas politik pun tak jarang yang tiba-tiba melek politik, merasa tidak eksis jika tidak ikut bicara politik di warung kopi atau media sosial, meskipun pengetahuannya tentang yang dibicarakannya amatlah minim. Data menyebutkan, menjelang momen Pilpres 2014 pengguna internet semakin meningkat tajam di akhir 2013, mendekati 80 juta pengguna, di mana 48,8 juta di antaranya memiliki akun Facebook (kompas.com, 24 Juni 2014). Merekalah yang menjadi salah satu titik sentral terselenggaranya diskursus politik di dunia maya.
Fakta ini menyiratkan setidaknya ruang publik kembali ‘direbut’ oleh khalayak secara aktif, terutama dalam konteks berdemokrasi. Jika selama orde baru masyarakat dikerangkeng dalam garis demarkasi a-politik, maka kini masyarakat menjadi pelibat aktif dalam berwacana politik. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi lumrah, kesadaran menentukan pilihan politik menjadi sebuah kebutuhan.
Ini patut disambut gembira. Bagaimanapun pertumbuhan sebuah bangsa ikut ditentukan oleh sejauh mana partisipasi masyarakat tersalurkan secara proporsional. Jika di bawah rezim yang otoriter Pemilu hanya dimaksudkan sebagai instrumen untuk memperpanjang dan memperteguh napas kekuasaan, maka kini Pemilu justru bisa menjadi momen untuk mengoreksi sisi-sisi negatif dari bangunan kekuasaan sebelumnya. Pada akhirnya, diharapkan Pemilu juga menjadi ajang untuk mereintrospeksi sejauh mana kekuasaan itu dimanifestasikan ke implementasi yang sejauh mata memandang hanya mengabdi kepada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa.
Untuk menuju Pemilu ideal seperti itu, dibutuhkan kesepakatan sejak awal mengenai aturan main. Aturan main itulah segala Undang-Undang dan peraturan-peraturan teknis. Ibarat bermain sepakbola, maka siapapun pesertanya mestilah memahami sebelum bertanding segenap peraturan. Pelanggaran, baik sengaja atau tidak sengaja, tentulah akan ditindak secara tegas oleh wasit. Wasit, sebagai yang diserahi tugas dan amanat untuk menjaga agar keadilan dan sportifitas serta kredibilitas pertandingan, tentu wajib dihormati, apapun putusannya. Toh mereka sudah pula kita pilih secara ketat sebelum mengemban tugas mahaberat itu. Kalau tidak, kepada siapa lagi?
Jika kita sepakat dengan argumen yang mengatakan bahwa Pemilu berkualitas hanya akan selalu lahir dari peserta Pemilu yang berkualitas, ditambah oleh penyelenggara yang profesional, dan tentu saja pemilih yang cerdas, maka sudah pada waktunya pula kita percaya bahwa ternyata yang membuat Pemilu itu sukses adalah kita semua. Pemilu tidak hanya ditentukan oleh Capres dan Cawapres yang bertarung, bukan oleh KPU semata, apalagi hanya pemilih belaka. Pemilu yang berdampak positif pada masa-masa pascapemilu adalah semacam bangunan megah-besar (yang sudah jadi) di mana semua orang turut andil meletakkan batu pertamanya, ikut serta aktif mengerjakan tiang dan dindingnya, dan semua orang pulalah yang memoles finishing touch-nya.
Berdasarkan argumen sederhana itu, memang dibutuhkan laku (komunikasi) politik yang elegan, dari siapapun yang merasa ikut dalam seluruh aktivitas pemilu. Seyogyanya, kita menunjukkan apresiasi sekaligus derajat kedewasaan politik kita melalui ‘bahasa politik’ yang ‘cantik’. Sebagai contoh, ketika siapapun kemudian terpilih, mestinya kita sedari awal sadar, bahwa pesta demokrasi apapun dan di manapun, muaranya adalah mencari pemimpin yang mayoritas dipilih oleh rakyat. Bukan berarti yang tidak terpilih kemudian kalah. Kalah adalah semata asosiasi koruptif dari pikiran yang belum dewasa. Kekalahan yang paling hakiki sejatinya ketika seseorang tidak siap untuk bersahabat dengan kenyataan. Sebaliknya, menerima dengan lapang dan menunjukkan kebesaran jiwa secara personal, sosial dan politikal, sejatinya adalah kemenangan sesungguhnya.
Makanya, bisa jadi, ketika ada di antara kita yang kemudian tetap tidak mampu mengubah atmosfir kejiwaannya, keluar dari hingar-bingar kompetisi yang semata memandang kekuasaan sebagai satu-satunya jalan untuk (merasa) eksis, adalah sebagian dari gejala autisme politik. Sepantasnyalah jika disadari hinggap, segera disingkirkan jauh-jauh, apalagi dari diri peserta pemilu (Capres-Cawapres). Jika tidak, maka kita akan kehilangan (lagi) konsep kenegarawanan yang selama ini selalu kita rindukan, seperti yang pernah dicontohkan oleh para founding fathers.***
Penulis sedang studi Doktoral Komunikasi Politik di University of Hull, Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H