Mohon tunggu...
Mohammad Isa Gautama
Mohammad Isa Gautama Mohon Tunggu... -

Seorang pembelajar yang senang membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunikasi SBY-Jokowi

26 September 2014   12:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:28 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meski sudah berlalu beberapa minggu yang lalu, namun pertemuan Presiden SBY dengan Presiden terpilih Joko Widodo di Bali masih aktual untuk diulas. Momen ini disambut hangat oleh hampir semua kalangan, mulai akademisi hingga politisi, dari rakyat jelata hingga konglomerat. Inilah momen langka yang pertama kali terjadi di negara kita, saat Presiden yang akan menyelesaikan masa kepemimpinannya berdialog dengan tensi normal secara langsung, face to face, bahkan empat mata, dengan calon penggantinya.

Terlepas dari substansi konten pembicaraan, yang kabarnya (menurut media) fokus ke hal-hal teknis-administratif-strategis berkenaan APBN/RAPBN, subsidi BBM, serta transisi pemerintahan eksekutif antara kabinet SBY dengan bakal calon kabinet Jokowi-JK, ada beberapa hal yang menarik ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama, pertemuan Jokowi-SBY mematahkan kekuatiran khalayak selama ini mengenai potensi terulangnya konflik simbolis antara pemerintahan status-quo dengan pemerintahan baru. Sebagian pengamat beralasan, dalam sejarah transformasi kepemimpinan eksekutif di Indonesia, proses transisinya selalu saja berwajah suram, tidak akomodatif, jauh dari usaha dialog, apalagi kerjasama. Tengoklah proses transisi sejak dari era Soekarno-Soeharto yang sarat chaos politik, Soeharto-Habibie yang malu-malu kucing, Habibie dengan Gusdur-Mega yang dramatis, dan last but not least Mega-SBY yang bagai sepasang (bekas) suami-istri dirundung talak.

Kedua, momen ini mempertontonkan pembelajaran politik yang jauh lebih dewasa dibandingkan pola transisi kekuasaan di era transformasi kepemimpinan Indonesia sebelum-sebelumnya. Kita memang sudah bosan dengan praktik kekanak-kanakan dari para sebagian besar pemimpin nasional selama ini, manakala dihadapkan pada fakta perbedaan dan dinamika politik. Fakta bicara, SBY-Jokowi pun pernah saling sindir dalam beberapa konteks, jauh sebelum Pemilu. Di situlah seni berpolitik, tidak ada kawan maupun lawan yang abadi. Pagi kawan, sorenya jadi lawan, begitu juga sebaliknya. Bagaimana menjadikan politik sebagai alat untuk memperbaiki bangsa, itulah yang harusnya diutamakan.

Laku komunikasi politik dari kedua top-leader ini seakan mengingatkan lagi interaksi antara para founding fathers. Siapa yang bilang bahwa Soekarno, Hatta, dan Syahrir sehaluan? Andaikan saja mereka lebih mementingkan ego politiknya ketimbang kepentingan yang lebih besar, yaitu nasib rakyatnya, maka bisa jadi hingga kini republik tak kunjung lahir.

Jika kita mau menilik bagaimana transisi kekuasaan di negara-negara maju semisal Inggris dan Amerika Serikat, maka sesungguhnya tradisi seperti yang mulai dilakukan Jokowi-SBY sudah pula lama mengakar. Lihatlah bagaimana misalnya tim transisi Obama melakukan konsolidasi yang apik dengan staf-staf gedung putih-nya George W. Bush. Videonya bisa dilacak di youtube.com dari berbagai sumber.

Berikutnya, laku komunikasi politik SBY-Jokowi juga merefleksikan bahwa masing-masing tokoh ini sadar bahwa apapun yang merupakan bagian dari proses estafet kepemimpinan memang sudah seharusnya dikoordinasikan secara interaktif-kolegial, bukan antipati-kontestasi. Tidak seluruh yang lama itu harus dikoreksi apalagi ‘dipadamkan’, jika memang ada bagian-bagian yang masih baik untuk dipakai, diteruskan, dirawat, ditumbuhkembangkan.

Hal lain yang bisa dipetik, dengan pengalamannya memimpin dua periode, sepuluh tahun, terlepas dari berbagai kelemahannya, SBY menunjukkan ke publik bahwa ia bertanggungjawab untuk menjelaskan hal-hal urgen ke Jokowi sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinannya, bisa jadi pula berbagi ‘resep’ atau nasehat sebagai ‘orang lama’. Sebaliknya, Jokowi juga menunjukkan bahwa sebagai Presiden terpilih, ia berkewajiban menjemput bola secara langsung dan gamblang ke ‘senior’nya, mendengarkan hal-hal yang penting untuk dilakukan atau tidak dilakukannya.

Menariknya pula, SBY dengan gaya komunikasi tingkat tingginya, dan Jokowi dengan laku komunikasi tingkat rendahnya, mau berdialog dengan tidak terlalu ‘takut’ jika kedua ‘chanel’ yang berbeda itu akan menimbulkan miskomunikasi. Kita tahu, SBY selama ini selalu bicara formal, dengan nada dan pilihan kata dan kalimat yang teratur (atau diatur?). Sebaliknya, Jokowi bicara ceplas-ceplos, spontan, dan kental logat Jawanya. Meskipun kita melihat di televisi, betapa di masa kampanye dan debat resmi yang diselenggarakan KPU, Jokowi berusaha untuk menata bahasa lisannya menjadi lebih elegan dan mencerminkan komunikasi tingkat tinggi, namun Jokowi tetaplah Jokowi. Polesan itu terlihat tidak begitu membekas jika ia dicegat wartawan.

Terakhir, alangkah indahnya politik itu jika para aktornya mau berdialog dan melupakan perbedaan benderanya. Alangkah semakin bangganya kita jika para pemimpin, siapapun dia, mau duduk semeja, melupakan apa yang terjadi di medan laga, melakukan rekonsiliasi, dan sadar, bahwa politik pun tak akan pernah abadi, seperti juga kekuasaan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun