[caption id="attachment_238613" align="aligncenter" width="587" caption="Kunci Jawaban UN 20 Paket Soal"][/caption] Memperhatikan kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa SMA di Surabaya membuat saya geleng-geleng kepala. Betapa tidak, kunci jawaban tersebut nampak dipersiapkan sangat profesional. Jauh dari kesan palsu atau sekedar ulah orang iseng seperti salah satu komentar yang ditulis atas catatan saya di Kompasiana sebelumnya: Kecurangan Ujian Nasional Itu Nyata Sebelum ini kita disuguhi berbagai pernyataan Mendikbud M. Nuh yang menjelaskan bahwa UN tahun ini dibuat sedemikian rupa sehingga kemungkinan bocor sangat kecil. Soal-soal UN dibuat dalam 20 paket, sehingga di dalam satu ruangan masing-masing siswa akan mengerjakan soal yang berbeda, sehingga kecurangan contekan juga hampir mustahil. Bahkan meski UN tertunda di 11 propinsi, Mendikbud mengklaim soal UN tidak akan bocor (Suara Pembaruan, 15 April 2013). Soal UN bocor akan mudah dilacak, karena memiliki barcode (Antara, 31 Maret 2013). Semua retorika Mendikbud bisa sejenak menenangkan kita yang menginginkan UN berlangsung jujur dan kredibel. Tapi ketenangan itu mendadak buyar ketika guru-guru di berbagai daerah melaporan kecurangan UN dengan berbagai modusnya. Benarkah UN masih bisa bocor? Bukankah naskah soal dilengkapi barcode sehingga siswa yang curang pasti sulit mengenalinya? Saya sendiri awalnya menyangsikan bagaimana soal UN bisa bocor setelah 2 pengamanan yang dibuat (barcode dan paket sebanyak 20 soal) diterapkan dalam UN tahun ini. Ternyata, di mana-mana maling selangkah lebih lihai ketimbang polisi...Dan itu nyata terlihat dalam kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa. Bagaimana Cara Mengenali Barcode? Sebelum mengerjakan, siswa harus lebih dulu mencocokkan apakah kunci jawaban yang dipegang sudah sesuai dengan soal yang dikerjakan. Dan jika melihat barcode tentu sulit. Maka cara yang dipakai adalah dengan tidak mempedulikan barcode tersebut, melainkan memakai trik lain. Dari berbagai bentuk kunci jawaban yang beredar, setidaknya ada 2 cara mengenali soal tanpa melihat barcode, yaitu: (1) Mencocokkan redaksi awal 2 contoh soal Ini bisa dilihat pada kunci jawaban pada gambar di atas. Misalnya, tertulis: BIG 1. Soal 16. Nadia will... Soal No. 20. Rafael Nadal... Siswa tinggal mencocokkan apakah di soal tersebut untuk soal no 16 diawali dengan redaksi "Nadia will..." dan pada soal nomor 20 diawali dengan kalimat "Rafael Nadal...". Jika iya, maka berarti kunci jawaban sudah cocok dengan soal. Siswa tinggal menyalin saja kunci jawaban yang tertera di situ. Kalau belum cocok, ya cari saja pada kunci jawaban lainnya, kan siswa memegang kunci jawaban untuk semua paket soal. (2) Memperhatikan kode yang tertulis di pinggir sampul soal Coba perhatikan kunci jawaban UN mapel Kimia yang beredar di SMA di Palembang di bawah ini.
[caption id="attachment_238630" align="aligncenter" width="623" caption="Kunci jawaban dengan kode angka di pinggir sampul soal"]
Apakah pembuat soal kecolongan sehingga kode yang ditulisnya di sampul justru dimanfaatkan oleh mereka yang curang untuk mengenali naskah soal? Saya tidak tahu. Kemdikbud tentu lebih mengerti masalah ini.
Apakah kunci jawaban ini asli? Jangan-jangan buatan orang iseng yang asal menebak-nebak sembari mendapatkan keuntungan dari penjualan kunci jawaban? Ya, kalau ini palsu, siswa pasti sudah berontak, sebab mereka mendapatkannya tidak gratis alias harus merogoh kantong Rp 50-100 ribu.
Kunci jawaban ini sungguh asli. Hal ini mudah dideteksi dari 2 butir soal yang dituliskan sebagai pengenal atau tulisan di kode sampulnya. Si pembocor pastilah orang yang amat sangat "hebat", sebab mereka bisa mengakses semua soal. Langsung 20 paket soal sekaligus.
Masihkah Mendikbud terus beretorika bahwa tidak ada kebocoran UN? Bukti apa lagi yang ditunggu agar pemerintah sampai pada kesimpulan bahwa UN memang tidak valid karena pelaksanaannya penuh kecurangan?
Saatnya Reposisi UN. Sekarang Juga!
Tahun ini, meski Kemdikbud sudah berinovasi dengan barcode dan 20 paket soal, ternyata bocor juga. Saya sampai pada kesimpulan, mau dibuat paket lebih banyak lagi, UN tetap akan bocor, bocor, curang, dan curang... Semua ini karena siswa tidak memiliki pilihan lain, kecuali harus dapat nilai bagus agar bisa lulus sekolah. Nilai UN jeblok alamat siswa gagal lulus.
Sudah saatnya Kemdikbud mengembalikan fungsi UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, melainkan hanya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan. Urusan lulus nggak lulus biar menjadi domain guru dan sekolah. Karena nggak menentukan kelulusan, insya Alloh siswa nggak akan ngoyo mencari bocoran dan berbuat curang, toh berapapun nilai UN, kelulusan ditentukan sekolahnya.
Jadi, saran untuk Mendikbud, stop UN yang penuh rekayasa ini. Tahun depan, tak perlu lagi ada UN. Atau, jika pun UN dipertahankan, ubah fungsinya hanya untuk pemetaan mutu pendidikan saja. [ihsan@igi.or.id]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H