Tentu kita tidak asing lagi mendengar hukum pidana di Indonesia terutama bagi seseorang yang sudah lulus di tingkat SMA. Pasalnya dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia pasti harus dihadiri oleh saksi, pengacara, tersangka, korban atau keluarga korban, dan hakim. dalam menjalankan sidang peradilan, tentu dalam sidang peradilan memiliki nilai estetika dalam mencari keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban sasaran dari pihak tidak bertanggung jawab. Tapi terkadang dalam persidangan peradilan tersebut terdapat hasil yang memuaskan atau tidak memuaskan sesuai dengan perbuatan si terdakwa tersebut.
Putusan akhir dari sidang peradilan dapat dilakukan apabila pihak dari kepolisian telah mengumpulkan barang-barang bukti yang cukup untuk dilimpahkan ke jeruji besi. Oleh karena itu dalam pengutus suatu perkara si terdakwa harus diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi sebelum naik tingkat sebagai terdakwa, setelah diperiksa sebagai saksi dan tercukupi barang bukti kronologi cerita sebagai peran seperti korupsi. Maka tingkat saksi dapat diubah sebagai tingkat terdakwa sebelum dilakukan olah TKP dalam mencari barang bukti yang cukup dan dilimpahkan ke akhir pengadilan. Seperti Contoh Sekda kabupaten bogor yang diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus pemotongan uang dan gratifikasi yang menjerat mantan bupati kab. Bogor Rachmat yasin.
Penyebab utama kasus Korupsi yang dilakukan oleh mantan bupati kabupaten bogor rachmat yasin dikarenakan ada strategi kampanye politik nya di pemilihan kepala daerah dan pemilihan daerah legislatif 2013-2014. Dalam pengutus perakara ini diperlukan saksi dari Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor, Kasubag Keuangan Bappeda Kabupaten Bogor, dan wiraswasta atau pengelola pesantren H.M.N yang akan melengkapi dokumen berkas penyidikan tersangka Rachmat Yasin. Sementara kasus lain yang menjerat Rachmat Yasin yaitu berupa gratifikasi tanah 20 hektar dan mobil Toyota Vellfire. Gratifikasi yang dilakukan oleh mantan bupati kabupaten bogor Rachmat Yasin berhubungan langsung dengan jabatan tersangka dan berlawanan arah dengan kewajiban tugas sebagai bupati kabupaten bogor.
Pasal perkara tentang korupsi dan gratifikasi yang menjerat mantan bupati kabupaten bogor ada dalam pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP yang terancam penjara sekitar 5 atau 10 tahun.
Kesimpulannya bahwa korupsi terjadi diakibatkan hawa nafsu dari tersangka tersebut yang menginginkan jabatan tingkat tinggi tetapi dengan menipu rakyat dengan politik uang tanpa ada kebijaksanaan dari rakyat itu sendiri yang akan merasakan dampak setelah naik jabatan sebagai wakil representasi daerah. Oleh karena nya kita sebagai rakyat yang memegang kuci utama dari provinsi maupun negara harus lebih bijak saat diadakan pilpres, pilgub, dan pemilihan bupati sebelum salah melangkah.
Penulis : Mohammad Hijir Ismail
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Pamulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H