Idealisme dalam teori hubungan internasional merupakan pendekatan yang menekankan pentingnya nilai-nilai moral, etika, dan hukum internasional dalam interaksi antar negara. Idealisme berakar dari keyakinan bahwa manusia dapat mencapai perdamaian dan kerjasama melalui pengakuan terhadap norma-norma universal, idealisme meyakini bahwa tindakan negara seharusnya dipandu oleh prinsip moral dan berkomitmen terhadap hukum internasional. Idealisme dicetuskan oleh beberapa tokoh penting seperti Immanuel Kant, Woodrow Wilson, dan Norman Angell. Situasi dimana moralitas manusia dijadikan prioritas memang elok untuk didengar dan dibayangkan, namun realitas berkata lain dan bahkan jauh.
Sebagai permulaan, perspektif idealisme melebih-lebihkan moralitas manusia. Asumsui bahwa negara-negara akan bertindak berdasarkan norma moral dan etika sungguh meleset jauh dari kenyataan. Sebuah negara akan mengedepankan kepentingan nasional dalam mengambil keputusan politik. Pertimbangan moral cenderung diabaikan jika ini sudah melibatkan kepentingan nasional. Sebuah negara bahkan akan memulai konflik perang demi mendapatkan keuntungan strategis. Dalam praktik hubungan internasional, saya berani mengatakan bahwa moral hanya bersifat fiktif belaka. Negara-negara hanya akan membantu satu sama lain jika hal tersebut dilihat dapat membuahkan keuntungan strategis dalam pemenuhan kepentingan nasional mereka.
Masih berhubungan dengan kritik sebelumnya, dikarenakan moralitas yang dilebih lebihkan, idealisme cenderung tidak relevan dalam situasi krisis. Kita coba analogikan dengan situasi baru-baru ini dimana hacker sempat menyerang database kominfo dan sebagai balasan pihak mereka mengatakan "kalau bisa hacker jangan menyerang". Hal tersebut tentu terdengar tidak masuk akal, mereka yang menjadi dalang terjadinya krisis tidak akan memikirkan nilai moral, jika iya maka krisis tersebut tidak akan terjadi. Ketika kepentingan nasional dan keamanan terancam, negara cenderung mengambil tindakan yang mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip idealis.
Selanjutnya, perspektif ini sering kali berfokus pada konsep-konsep abstrak seperti "keamanan kolektif" dan "perdamaian abadi," dengan minimnya panduan konkret tentang bagaimana cara dan upaya mencapai tujuan tersebut. Kenyataan yang berjalan dalam konteks hubungan internasional begitu kompleks sehingga untuk mendapat kepastian mengenai hal-hal abstrak tersebut dapat dikatakan sukar atau bahkan mustahil. Perdamaian abadi? Kita bahkan belum dapat mendamaikan negara-negara yang sedang terlibat di dalam konflik, dan kedepannya pasti ada saja konflik antar negara yang lahir. Kata "damai" dan "konflik" sudah menjadi siklus dalam kegiatan hubungan internasional.
      Tidak berhenti di situ, perspektif idealisme juga cenderung mengabaikan dinamika kekuasaan dalam hubungan internasional. Negara besar dan berkekuatan sering kali dapat mengabaikan norma-norma idealis tanpa konsekuensi yang berarti, sedangkan di sisi lain Negara kecil akan terpaksa mengikuti norma-norma tersebut meskipun tidak menguntungkan mereka. Ini menciptakan ketidakadilan dalam penerapan prinsip-prinsip idealis. Hal ini juga menghasilkan terjadinya pemaksaan nilai-nilai idealisme sebagai nilai yang universal. Dalam proses pendekatannya idealisme dianggap sebagai bentuk neo-kolonialisme dikarenakan nilai-nilai Barat cenderung dipaksakan kepada negara-negara lain tanpa mempertimbangkan perspektif lokal.
      Kesimpulan yang dapat di tarik adalah, tidak, teori idealisme tidak benar-benar ideal dikarenakan banyaknya keterbatasan dalam implementasinya. Meskipun idealisme memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan teori hubungan internasional, kritik-kritik yang sebelumnya dipaparkan menunjukkan bahwa pendekatan ini perlu dipadukan dengan pemahaman yang lebih realistis tentang dinamika kekuasaan dan kepentingan nasional dalam dunia yang kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H