“Seorang yang tidak pernah menipu, tidak akan pernah tertipu.” Begitulah ucapan seorang guru yang dipegang teguh oleh seorang pedagang emas di suatu kota kecil.
Ketika pada suatu hari ternyata ia tertipu oleh seorang tamu tak dikenal, ia menjadi ragu-ragu terhadap kebenaran ungkapan tersebut. “Kata mutiara yang kedengarannya masuk akal itu ternyata palsu dan menyesatkan,” putusnya di dalam hati.
Pada saat pengajian berikutnya tiba, pedagang itu langsung melaporkan kesialannya kepada guru. Sambil tersenyum guru bertanya, “Mengapa engkau membeli emas dari seseorang yang belum kau kenal?”
“Masalahnya orang tersebut sangat membutuhkan uang dan bersedia menjual murah perhiasannya,” jawab pedagang.
“O, kalau begitu engkau telah menipu diri sendiri. Mana ada emas dijual murah!” jawab guru.
Kisah di atas ditulis Muhammad Zuhri dalam buku Langit-Langit Desa (Mizan, 1993). Kisah yang sangat kontekstual dengan keadaan sekarang. Sebuah zaman yang telah dikepung oleh kepalsuan: dari merebaknya barang-barang palsu sampai jati diri palsu.
Harus diakui bahwa kepalsuan berkembang karena ditopang unsur kemalasan. Malas berpikir, juga malas berproses. Malas berpikir, seperti dalam kisah di atas, akan melahirkan penipuan diri sendiri. Seringkali kita tertipu oleh hal-hal yang permukaan, sepintas, atau instan. Seperti pedagang yang ingin meraih untung besar dengan membeli emas berharga murah. Mana ada emas murah?
Sementara itu, kemalasan dalam proses akan melahirkan kepalsuan terstruktur. Seperti nampak dalam fenomena ijazah palsu, yang sedang menjadi hot topic. Malas belajar, malas kuliah. Maka ia akan memanfaatkan atau dimanfaatkan oleh kepalsuan lain: universitas abal-abal.
Ijazah palsu adalah jalan pintas memotong proses berkeringat. Jika untuk mendapatkan ijazah asli harus bekerja keras menyelesaikan studi bertahun-tahun, ijazah palsu hanya membutuhkan transaksi rupiah sekejap, nyaris tanpa proses belajar apapun. Seperti mantra pesulap: bim salabim. Ada uang, jadilah doktor, maka jadi!
Lalu kita bertanya, untuk apa gelar doktor (palsu)? Sebuah prestasi atau sekedar prestise? Jika gelar doktor itu hasil proses belajar keras, tentu gelar itu bagian dari penghargaan: sebuah prestasi. Namun, karena gelar itu didapat dengan kepalsuan, maka bisa diduga jika salah satu motifnya adalah untuk sebuah prestise atau gengsi semata.
Kita, sadar atau tidak, memang suka memakai topeng. Bukankah ijazah palsu, gelar doktor palsu, atau apapun yang palsu, yang diharapkan dengan kepalsuan itu bisa menaikkan citra, image, atau prestise; adalah sebuah topeng. Padahal, topeng lazimnya digunakan dalam pentas seni.
Tapi memang, seperti teori dramaturgi yang dikemukakan sosiolog ternama Erving Goffman, kehidupan sosial ini mirip pertunjukan drama di atas panggung, menampilkan peran-peran seperti yang dimainkan para aktor. Seperti aktor dalam drama, dalam interaksi sosial, kita akan berperan ganda, dua wajah yang berbeda, saat berada di panggung depan (front stage) dan di panggung belakang (back stage).
Saat di panggung depan, kita mati-matian tampil menjadi pribadi menarik. Penampilan yang terjaga dengan gaya bicara yang tertata, busana yang rapi-licin, dan asesoris yang wah. Itu karena sedang tampil di hadapan penonton drama kehidupan.
Panggung depan itu bisa dalam bentuk rukun tetangga, komunitas, sosialita, lingkungan kerja, dunia politik, atau bahkan media sosial. Di depan mereka seringkali kita jadi aktor atau bertopeng. Maka dibutuhkan berbagai properti, yang seringkali properti itu adalah kepalsuan-kepalsuan yang dibeli demi menjaga citra diri itu.
Berbeda saat berada di panggung belakang. Kita akan menjadi manusia apa adanya, seperti aktor yang sedang rehat di sela pementasan. Di situ ia menjadi dirinya sendiri. Ia akan kembali berbicara sebagaimana logat asal atau bertingkah seperti kebiasaan semula. Inilah dua panggung yang seringkali saling kontradiksi. Dunia peran antagonis.
Tentu, dalam pentas drama di dunia seni, peran antagonis tidak menjadi masalah, bahkan sebuah tuntutan profesional. Persoalannya adalah apakah peran itu akan terus-menerus dimainkan dalam kehidupan sosial? Apakah kita akan selalu bertopeng dan berperan antagonis, dengan kepalsuan-kepalsuan?
Dalam antagonisme kehidupan tidak ada ketentraman, karena itu melawan hati nurani. Sementara hati nurani selalu cenderung kepada kebenaran dan peran panggung sering terbungkus kepalsuan.
Oleh karena itu, dalam Islam ada ajaran moral tentang “satunya kata dengan perbuatan”, seperti yang diajarkan al-Quran surat as- Shaff/61: 1-2: Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Besarlah dosa di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakan.
Jadi, topeng kepalsuan itu memang harus ditanggalkan, agar kita menjadi manusia otentik, manusia dalam kesejatian diri. [*]
*) Mohammad Nurfatoni, aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya dan sekretaris Yayasan Bina Qalam Indonesia.
Tulisan ini dipublikasikan kali pertama di harian Duta Masyarakat (5 Juni 2015) hasil kerjasama dengan Yayasan Bina Qalam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H