Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesendirian, Mikraj, dan Shalat

28 Juni 2011   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sebuah kebun anggur terlihat seorang lelaki dengan kedua kaki penuh luka. Ia tampak begitu kelelahan. Dari wajah tampannya terpancar gurat-gurat kesedihan yang mendalam. Dengan mata berkaca-kaca ia berguman:

Duh Gusti Allah, kepada-Mu kukeluhkan kelemahanku,
kurangnya dayaku, rendahnya diriku di mata manusia,
Oh Yang Maha Pemurah,
Kaulah Tuhan dari makhluk lemah, Kaulah Tuhanku,
ke mana Kau bimbing aku?
kepada orang jauh yang mendustakan aku?
atau kepada musuh yang kau beri kekuatan melebihiku?

Asal Kau tak murka, aku tak peduli
kemurahan-Mu kepadaku melimpah
aku berlindung kepada cahaya-Mu
yang menerangi gelap, dunia dan akherat.
janganlah kemurkaan-Mu menimpa aku
kepada-Mulah aku menghamba
sampai Engkau puas sesuai kehendak-Mu
tiada yang lebih kuat dari kuasa-Mu.

Lelaki itu adalah Muhammad, Rasulullah saw. Kisah ini terjadi tatkala beliau bersembunyi di sebuah kebun anggur milik Uthbah bin Rabi’ah ketika menghindari kejaran orang-orang Bani Tsaqif, atas hasutan tiga pembesar bersaudara putra Amr bin Umar yaitu Mas’ud, Abdu Yalail, dan Habib. Mereka mengejar-ngejar dan melempari Rasulullah saw ketika beliau bermaksud meminta bantuan Bani Tsaiqf dalam menghadapi orang-orang Mekkah serta menawarkan agama Islam—setelah di Mekkah tidak lagi mendapat perlindungan.

Peristiwa yang terjadi di kota Thaif itu adalah salah satu episode getir dalam pengalaman hidup Rasulullah saw. Beberapa tahun kemudian, ketika beliau ditanya oleh Aisyah, Rasulullah saw menjawab: “Hari-hari hidupku yang paling getir, adalah dulu, ketika di tengah bangsaku, nasibku bergantung pada belas kasih Abdu Yalail.”

Sebelum peristiwa Tha’if, ada beberapa rangkaian peristiwa menyedihkan yang dialami Rasulullah saw. Pertama, pemboikotan total yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim.

Kala itu kaum kafir Quraisy bersepakat untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib, kecuali Abu Lahab yang membelot kepada kaum kafir Qurasy. Mereka melakukan bolikot dengan menulis perjanjian (shahifah) yang ditulis oleh Manshur bin Ikrimah bin Amir bin Hasyim. Nota perjanjian itu kemudian digantung di Ka’bah. Adapun isi perjanjian itu adalah:


  1. Mereka tidak menikah dengan wanita-wanita dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
  2. Mereka tidak minikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
  3. Mereka tidak menjual sesuatu apa pun kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
  4. Mereka tidak membeli sesuatu apa pun dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.


(Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al Muafiri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam I, Darul Falah, 2004)Mereka diboikot di Syi’ib Abu Thalib. Letaknya di kaki bukit Abu Qubays, bagian Mekkah sebelah timur. Berbentuk sebuah pelataran sempit yang dikelilingi dinding batu terjal lagi tinggi, tidak dapat dipanjat. Orang ganya dapat masuk keluar dari sebelah barat melalui celah sempit setinggi kurang dari dua meter, yang hanya dapat dilewati unta dengan susah payah (H. Fuad Hasyem, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Mizan, 1990).

Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun, yaitu dimulai tahun ke-7 kenabian sampai tahun ke-10 kenabian. Bisa dibayangkan betapa susahnya hidup dalam keadaan seperti itu. Mereka tidak tidak bisa keluar dari tempat ini kecuali pada bulan-bulan haram. Mereka membeli dari kafilah yang dating ke mekkah dari luar daerah, tetapi penduduk mekkah menghasut mereka agar menaikkan harga barang-barang dagangan mereka sehingga kaum Muslimin tidak dapat membelinya. Tak heran jika mereka banyak yang makan dedaunan dan kulit binatang. Tidak ada pasokan makanan, kecuali yang diselundupkan secara sembunyi-sembunyi dalam jumlah yang terbatas—misalnya yang dilakukan Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah. (Syaikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad Sirah Nabawiyah, Rabbani Press, 2002).

Anggota klan yang bukan Islam memprotes Muhammad saw, yang dianggap biang keladi dari semua penderitaan. Khadijah, istri Rasulullah saw merasakan sengsaranya hidup dalam boikot, suatu keadaan yang belum pernah dialaminya—serba kekuarangan pangan, padahal beliau adalah orang kaya. Abu Bakar, yang dilaporkan punya uang 50.000 dirham ketika masuk Islam, ternyata hanya memiliki 4.000 dirham di saat hijrah ke Madinah. Ia memang menebus budak, tetapi jika harga budak sekitar 400 dirham per orang, sedang ia membebaskan tujuh budak, berarti cuma menghabiskan 2.800 dirham. Dalam pemboikotan inilah mungkin harta Abu Bakar terkuras (H. Fuad Hasyem, 1990).

Sekalipun begitu, semangat Rasulullah saw tak pernah lekang. Dakwah Islam tetap dilancarkan. Rasulullah saw punya peluang khusus dalam bulan-bulan suci; yaitu bulan “Muharam”, yang diharamkam kekerasan, bulan Rajab yang dihormati, bulan Dzulqa’dah bulan damai, dan bulan Dzulhijjah bulan berhaji. Di empat bulan itu Rasulullah saw bebas berkhutbah, bertemu dengan berbagai kalangan dari seluruh penjuru jazirah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun