Oleh: Mohamad Ikhwanuddin
Suasana sore hari di daerah transmigrasi pinggiran Kotabumi, Lampung Utara terlihat sangat indah. Rumah permanen dengan dinding terbuat dari adukan semen dan bata berjejer rapi. Jalan aspal selebar lima meter terlihat mulus. Hamparan kebun singkong di sekeliling rumah penduduk terlihat hijau. Pelangi baru menampakan dirinya di ufuk timur saat hujan menyisakan rintikan yang menambah indahnya suasana desaku. Pak Broto sedang duduk di teras depan rumah ditemani pisang goreng dan kacang rebus. Meskipun hanya menggunakan baju koko dan sarung, namun masih terlihat ketampanan dan kegagahan pak Broto. Terdengar sayup-sayup lagu nostalgia dari radio butut yang ada di dapur.
"Bu...?", panggil pak Broto.
dari arah dapur terdengar suara menyahut
"Wonten nopo pak...?"
"Ibu malih ndamel kopi pahit damel bapak".
"Mriki bu..., sampun sibuk mawon wonten pawon!", jawab pak Broto.
Bu Broto berjalan dengan membawa baki yang berisi kopi pahit diletakkan di atas meja.
"Pak..., kopinipun andang di unjuk menawi tasih panas", matur Ibu.
Matur nuwun nggih bu", sahut pak Broto dengan sedikit genit".
"Genit...!, sampun sepuh pak...?", kata bu Broto sambil tersenyum.