Menurut Situmorang (1995), feodalisme merupakan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan dan atau keturunan bangsawan yang mengagung-agungkan jabatan dibandingkan  prestasi. Budaya feodalisme ini sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena memang merupakan warisan dari zaman kerajaan yang menganut sistem patron.
Patron merupakan  seseorang yang dengan kekuasaannya menguasai bawahan/pegawai atau anak buahnya secara penuh, memiliki status yang dengan statusnya terbentuk/tercipta kasta yang membelah/membedakan secara mencolok atasan dan bawahan,  memiliki wewenang yang dengan kewenangannya menguasai bahkan memonopoli berbagai aspek sosial dan memilki pengaruh yang dengan pengaruhnya segala kekuasaan, status, dan wewenang berada di bawah kendali penuhnya. Â
Nusantara sebelum kemerdekaan merupakan negara dengan banyak kerajaan-kerajaan, dimana masing-masing kerajaan memiliki daerah kekuasaan yang luas. Namun setelah kemerdakaan dan terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih terasa dan tanpa dirasa terbentuk kerajaan-kerajaan yang kekuasaannya melebihi kekuasaan Negara. Kita menyaksikan dan dipertontonkan orang-orang, golongan/kelompok yang menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki suatu negara atau daerah bahkan korporasi/institusi.
Saat ini Dunia menggaungkan demokrasi dan mengedepankan serta mengusung demokrasi untuk memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi yang lahir dari ketidakpuasan dengan patronisme yang merajalela yang merusak sendi-sendi demokrasi. Masyarakat demokrasi adalah masyarakat yang taat hukum, taat aturan, bukan masyarakat yang tidak mengerti, tidak paham atau tidak menerapkan bahkan mengindahkan hukum dan norma positif.
Amat sangat disayangkan, saat ini ada masyarakat/kelompok masyarakat mengatasnamakan demokrasi untuk membentuk dan menciptakan patronisme gaya baru, patronisme abad 21, patronisme modern yang ingin bahkan telah menguasai segala sumber daya yang dimiliki negara, daerah, korporasi/institusi yang mengorbankan bawahan/pegawai, yang mana tindakannya soolah-olah peduli dan empati terhadap bawahan/pegawai nya.
Ironinya, yang melakukan dan mengajak kita atas nama demokrasi adalah orang yang selama ini kita anggap teman baik, orang yang selama ini kita anggap sahabat, orang yang selama ini kita anggap panutan, orang yang selama ini kita anggap sebagai orang yang arif, namun karena dorongan ketidakpuasan atas situasi dan kondisi menurut prasangkanya adalah sesuatu yang kurang baik, sehingga menggerakkan bawahan/pegawai/masyarakat untuk merebut kekuasaan, untuk menggulingkan/menjatuhkan kekuasaan yang sah di mata hukum.
Perebutan kekuasaan memang akan selalu dan selalu muncul bagi jiwa-jiwa yang haus dan tertanam serta tumbuh feodalisme, sehingga tercipta Patronisme berkedok demokrasi. Di era modern yang menjunjung tinggi sosialisme dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, feodalisme, patronisme tidak lagi tepat diterapkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Semoga, kita terhindar dari tumbuh kembangnya jiwa-jiwa feodal yang merusak tatanan kehidupan bermasayarakat, berbangsa, bernegara, dan ber organisasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H