Mohon tunggu...
Mohammad Sofyan
Mohammad Sofyan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Programer Penelitian Sosial Ekonomi

Programer Penelitian Sosial Ekonomi CV ODIS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Bagaimana Indonesia Menyikapinya?

20 November 2022   07:00 Diperbarui: 20 November 2022   07:15 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: peacekanne.com

Menurut Wells & Lowel (2013) Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merupakan istilah yang digunakan oleh negara-negara anggota G-8, G-20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional (MNEs) di berbagai negara untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara lain yang menerapkan tarif pajak rendah atau bebas pajak. Maka, transfer pricing tidak tepat jika digunakan sebagai dasar  untuk memindahkan laba dari Indonesia ke luar negeri yang menerapkan tarif pajak rendah, sehingga yang menjadi wajib pajak di Indonesia menjadi sedikit.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Love (2013) menyatakan bahwa  perusahaan multinasional mencari celah lain untuk penghindaran pajak selain melalui transfer pricing, salah satunya adalah dengan special purpose entities (SPE), praktek BEPS terjadi karena adanya praktek hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain. 

Terdapat tiga kerugian bagi Indoensia, jika praktik BEPS diterapkan. Tiga kerugian tersebut, yaitu: (1) perusahaan multinasional memiliki peluang untuk mengungguli perusahaan domestik. Karena saat perusahaan domestik membayar pajak sesuai dengan ketentuan domestik dan mengurangi keuntungannya, perusahaan multinasional dapat menghindarinya. (2) Dimata investor, perusahaan yang melakukan praktik BEPS dapat dinilai lebih baik dibandingkan perusahaan domestik, karena dianggap memiliki pendapatan setelah pajak yang tinggi. Padahal, hal ini timbul karena pengakuan pajak yang rendah. (3) Praktik BEPS juga akan menurunkan motivasi wajib pajak dalam negeri untuk memenuhi kewajiban perpajakannya karena masalah keadilan perpajkan. Perusahaan domestik akan dapat melihat bahwa ada perusahaan multinasional yang menghindari kewajiban perpajakannya. Hal inilah yang memicu kerugian negara dalam penerimaan pajak.

Indonesia sebagai salah satu anggota dari Inclusive Framework on BEPS, berupaya mengimplementasikan semua rencana aksi dalam aturan domestik, kecuali rencana yang tengah dibahas di forum, yaitu mengenai pilar satu dan pilar dua yang khususnya berkaitan dengan pajak digital. 

Pilar Satu: Unified Approach. Berfokus pada bagaimana seharusnya hak pemajakan atas penghasilan dari aktivitas bisnis di era digital dialokasikan ke tiap yurisdiksi. Pilar ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengalokasikan hak pemajakan, yaitu dengan mempertimbangkan jumlah partisipasi pengguna (user participation), harta tidak berwujud terkait fungsi pemasaran (marketing intangible), dan eksistensi kegiatan ekonomi yang signifikan (significant economic presence). Memberikan hak pemajakan kepada negara pasar, meskipun tidak terdapat kehadiran fisik (physical present) di negara pasar. dan menyasar seluruh perusahaan multinasional (MNEs) dengan omset global di atas 20 Miliar Euro (sekitar 23,5 Miliar USD) dan profitabilitas (laba sebelum pajak/ pendapatan) di atas 10%.

Pilar Dua: Global anti-Base Erosion Rules (GLoBE). Menjelaskan tentang pajak minimum global, khususnya melalui skema Income Inclusion Rule (IIR) akan menjamin perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu  (memenuhi threshold yang ditentukan), dimanapun berada akan membayar tarif pajak efektif PPh Badan sebesar 15%. Dengan skema IIR, beban pajak tambahan (top-up tax) dikenakan pada entitas induk sehubungan dengan pendapatan bagian dari grup yang terkena pajak rendah.

Indonesia telah secara penuh mengadopsi tiga tingkat dokumentasi transfer pricing dengan meratifikasi Aksi 13 BEPS melalui: (1) penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh WP yang melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan tata cara pengelolaannya yang berlaku sejak 30 Desember 2016; (2) Peraturan Presiden Perpres 77/2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention To Implement Tax Treaty Related Measures To Prevent Base Erossion And Profit Shifting (Konvensi Multilateral Untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan Terkait Dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba) dan Surat Edaran Dirjen Pajak mengenai pemberlakuan Konvensi Multilateral; (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer; (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya; dan (5) melalui PMK-49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama pada tanggal 26 April 2019 dan PMK-22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun