Mohammad Rikza
(Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)
KESEJAHTERAAN named dan nakes kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, sejak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan, kabar keterlambatan gaji tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) masih banyak dijumpai di berbagai daerah. Selain itu, beberapa kasus yang sempat terjadi menyoroti besaran gaji yang dibayarkan tidak layak lantaran jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) setempat.
Gaji dan insentif bagi named dan nakes seringkali menjadi topik yang tidak diulas dalam pembahasan ketenagakerjaan. Kondisi ini dikarenakan profesi di bidang kesehatan sering dikaitkan sebagai profesi yang berorientasi pada pengabdian sosial. Padahal, profesi kesehatan tetap disebut sebagai suatu profesional, yakni kegiatan yang dilakukan seseorang dengan memerlukan keahlian tertentu untuk dijadikan sumber penghasilan finansial. Oleh karena itu, sebagian dari mereka akan menggantungkan kebutuhan hidupnya dari upah yang didapatkan.
Sayangnya, pemerintah acapkali menanggapi problematika upah named dan nakes sebagai sesuatu yang lumrah. Ilusi pahit yang harus dibuang adalah pandangan masyarakat yang meyakini named dan nakes sebagai seseorang yang telah berkecukupan, lalu memilih bergerak di bidang sosial sebagai pengabdi masyarakat. Padahal, realitanya tidak seperti pandangan mereka.
Telat Membayar Gaji Hal Lumrah?
Beberapa kasus terlambatnya pembayaran gaji terus terjadi akhir-akhir ini. Dilansir dari banjarmasin.tribunnews.com, nakes di Banjarmasin alami keterlambatan pembayaran gaji yang seharusnya telah dibayar sejak 1 Desember 2024, tetapi hingga 6 Desember 2024 gaji mereka masih belum dibayarkan. Ketika hal tersebut dikonfirmasi pada Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKPAD), Edy Wibowo, juga membenarkan bahwa gaji para nakes di Banjarmasin memang belum terbayarkan. Dia beralasan bahwa hal tersebut dapat terjadi akibat salah hitung saat proses penyusunan anggaran dari Dinas Kesehatan. Di sisi lain, seorang nakes di Banjarmasin yang tidak disebutkan identitasnya mengeluhkan bahwa TPP (Tunjangan Penambahan Penghasilan) yang diterimanya memang sering terlambat dibanding dengan SKPD lain. Ketika SKPD lain akan memberikan TPP saat tanggal 15 setiap bulan, Dinas Kesehatan baru mengeluarkan TPP pada tanggal 20, bahkan terkadang bersamaan dengan gaji.
Gaji Sering Berkhianat
Tidak hanya permasalahan keterlambatan gaji yang perlu diselesaikan pemerintah, tetapi juga besaran gaji yang tidak sebanding beban kerja. Salah satu kasus yang dilansir dari media KBA.ONE menyebutkan bahwa named rumah sakit swasta di Lhokseumawe mendapatkan gaji di bawah UMR dan lembur tanpa insentif. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa upah berkisar Rp700.000 hingga Rp1,7 juta per bulannya, padahal UMR Kabupaten Lhokseumawe sebesar Rp3.413.666. Menurut data hanya RS Arun Lhokseumawe yang memberikan gaji sesuai UMR. Kasus lain yang dilansir dari jawapos menunjukkan 150 tenaga BLUD RSUD Nyi Ageng Serang digaji di bawah UMK. Bahkan jika digabungkan dengan tunjangan serta tambahan lain, upah yang mereka dapatkan tak menyentuh angka UMK. Â
Regulasi Pemerintah Acuh Tak Acuh
Pendidikan bagi named dan nakes umumnya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Pengorbanan dari segi fisik, waktu, material, bahkan finansial mereka rasakan selama menempuh masa studi. Sayangnya, setelah melalui semua itu dengan susah payah, mereka masih harus menerima upah yang tak sesuai dengan beban kerja yang ditanggung. Permasalahan seperti keterlambatan gaji dan besaran gaji yang tidak memadai bukanlah sebuah problematika kecil. Â