Mohon tunggu...
Mohammad Hasan
Mohammad Hasan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menduniakan Madura

Tentang sosial, budaya, dan Madura

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Adab dan Sopan Santun ala Orang Madura

28 Januari 2021   12:46 Diperbarui: 28 Januari 2021   12:53 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari itu saya ada janji untuk jalan-jalan dengan kawan saya. Sebelum kawan saya itu nikah, dulu saya memang sering diajak jalan-jalan, entah untuk menemani melamar pekerjaan ke suatu instansi atau pun menyambangi tunangan yang masih kuliah. Saya yang waktu itu memang belum punya aktivitas berarti ya ikut saja dari pada bosan di rumah.

Hari ini, kawan saya sudah nikah, punya anak, punya pekerjaan tetap, dan saya pun sudah punya aktivitas lain yang cukup berarti, meskipun belum ketemu jodohnya. Hahaha. Karena sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, saya dan kawan saya sudah tidak pernah jalan-jalan lagi.

Mungkin bosan dengan aktivitas pekerjaan sehari-harinya, atau memang sedang libur dari pekerjaannya, pagi itu kawan saya datang ke 'kantor.' Sebelumnya memang sudah berkabar akan datang ke 'kantor' saya untuk ngobrol dan ingin mengajak jalan-jalan.

Saya bilang, "Kamu kan sudah punya istri, kenapa nggak jalan-jalan dengan istrinya saja?"

"Istri saya masih sibuk ngurus kacong kecil (anaknya)," kata kawan saya itu.

"Nanti istrimu cemburu lho," elak saya.

"Sudahlah bisnismu bisa ditinggal kan? Ada partner kamu yang menjaga kan?" berondong kawan saya itu.

Ya sudah, akhirnya hari itu saya dan kawan jalan-jalan, tujuannya tak jelas ke mana? Pokoknya keliling saja. Kebetulan hari bertepatan hari kamis kalau tidak salah. Untuk menghormati kawan saya yang sedang puasa sunnah senin---kamis, saya ikut saja puasa. Selama perjalanan naik sepeda motor panas-panasan, saya dan kawan tidak membeli makanan dan minuman.

Singkat cerita, hari sudah menjelang sore, sudah masuk waktu asyar.

"Sholat asyar dimana kita?" tanya saya.

"Nanti di depan ada masjid," kata kawan saya.

Setelah beberapa meter ke depan, ada pondok pesatren dengan masjidnya yang besar dan megah.

"Sholat di sini saja?" tanya saya yang kebagian nyetir sepeda motor.

"Iya," jawab teman saya.

Tanpa pikir panjang, saya belokkan sepeda motor masuk ke halaman masjid dan pondok pesantren. Sepertinya di lingkungan pondok pesantren sedang berlangsung proses belajar mengajar madrasah diniyah, sekolah sore khusus untuk santri belajar pelajaran-pelajaran agama dan kitab kuning.

Saya yang sesungguh-sungguhnya hanya ingin menumpang sholat asyar, dan istirahat sebentar karena capek dan kepananasan naik sepeda motor, cuek saja dengan kondisi sekitar masjid dan pondok pesantren. Tolah-toleh kanan-kiri, saya tak dapat menemukan tempat wudhu atau pun kamar mandi di lingkungan masjid dan pondok pesantren ini.

Tak berapa lama, kawan saya berseru, "Kita pindah saja"

Saya lihat lingkungan masjid dan pondok pesantrennya kurang nyaman, ya sudah saya iyakan saja ajakan pindah itu.

***

Siang itu perasaan saya kurang nyaman. Mau langsung ke 'kantor', jadi malas-malasan. Sedang ingin cari suasana baru. Ingin jalan-jalan dulu. Lagian di 'kantor' sudah ada partner saya yang menjaga.

Saya putuskan untuk jalan-jalan dulu. Ke arah timur, ke pasar Blega. Hari sudah cukup siang sebenarnya. Saya ingat tadi belum sempat sholat dhuha saat berangkat. Saya lihat jam tangan masih ada waktu untuk sholat dhuha.

Saat perjalanan saya lihat ada masjid di daerah BerTancak timurnya desa Paterongan. Saya memutuskan berhenti di sana untuk sholat dhuha sebentar. Setelah sholat dhuha, saya membuka buka buku catatan harian untuk mengevaluasi diri, apa yang salah sehingga perasaan saya kurang nyaman?

Setelah mencatat beberapa poin evaluasi dan solusinya, saya memutuskan melanjutkan perjalanan lagi. Entah karena efek perasaan yang kurang nyaman atau ada alasan lain saya lupa, saya meinggalkan masjid kira-kira 30 menit sebelum masuk waktu sholat dhuhur.

Normalnya, saya akan menunggu waktu sholat dhuhur tiba untuk sholat berjemaah, kemudian baru meninggalkan masjid menuju ke 'kantor.' Dalam keadaan perasaan kurang nyaman saya teruskan perjalanan dengan sepeda motor siang itu ke arah timur, pasar Blega.

Beberapa saat kemudian, adzan dhuhur berkumandang. Saya lihat di depan ada panitia amal-amal untuk pembangunan masjid yang belum selesai. Saya memutuskan sholat dhuhur di masjid yang belum selesai itu saja, karena ada suara adzan yang terdengar dari masjid itu.

Tanpa pikir panjang, saya masukkan motor ke halaman masjid. Awalnya saya bingung akan parkir di sebelah mana, karena lingkungan masjid masih tak karuan dengan material bangunan di sana-sini. Saya parkir saja sepeda motor di samping masjid.

Saya lihat, ternyata masjid ini ada di lingkungan sekolah MTS (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Banyak siswa-siswi berkeliaran hendak melaksanan sholat. Entah hanya perasaan saya atau memang benar, saya merasa para siswa itu memperhatikan saya. Mungkin karena saya orang luar yang menumpang sholat di lingkungan masjid itu.

Saya cuek saja. Dalam hati saya hanya ingin menumpang sholat dhuhur berjemaah di masjid itu apakah salah?

***

Dua cerita di atas menggambarkan diri saya yang sesungguhnya tak mengerti adab dan sopan santun ala orang Madura. Saya asal saja memasukkan motor ke lingkungan masjid dan pondok pesantren saat berjalan-jalan dengan kawan di cerita yang pertama. Cerita yang kedua pun demikian, asal saja parkir sepeda motor di lingkungan masjid yang berada di tengah-tengah lembaga pendidikan keislaman.

Cerita pertama saya memasukkan sepeda motor ke lingkungan masjid dalam keadaan mesin hidup dan saya tumpangi. Sedangkan kawan saya sudah turun dari boncengan sebelum saya memarkir motor di dalam lingkungan masjid dan pondok pesantren.

Secara adab dan sopan santun orang Madura seharusnya saya turun dari sepeda motor dan mematikan mesinnya. Parkirnya pun bukan di dalam lingkungan masjid dan pondok pesantren, tetapi di luar pagar masjid. Saat masuk ke lingkungan masjid pun, sandal harus dilepas di luar pagar masjid, dan masuk ke lingkungan pondok pesantren dengan telanjang kaki serta sedikit membungkuk untuk menghormati Sang Kyai.

Cerita kedua pun demikian. Dalam lingkungan masjid di tengah-tengah lembaga pendidikan keagamaan itu, pasti ada satu tokoh yang dituakan dan dihormati. Seharusnya saya tidak langsung masuk dan parkir motor di halaman samping masjid. Turun dan mastikan mesin motor, kemudian parkir motor agak jauh dari masjid supaya tidak menjadi pusat perhatian para siswa yang akan melaksanakan sholat dhuhur.

Saya memang lahir di Madura. Keluarga besar saya juga ada di Madura semua. Tetapi saya tidak tumbuh dan besar di lingkungan Madura. SD-SMP-SMA saya di Malang. Kuliah di Yogyakarta. Kemudian berpetualang sebentar ke Bandung. Saya juga cenderung pendiam dan kurang pandai bersosialisasi, sehingga lengkaplah sudah perasaan terasing di tanah kelahiran sendiri, yang sering saya alami. Hahaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun