Setelah melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji ke Baitullah, mereka berhak menyandang gelar haji di depan namanya. Tak heran jika ada orang-orang tertentu yang merasa tersinggung kalau namanya dipanggil tanpa menyebutkan gelar hajinya. “Orang saya sudah mengeluarkan uang puluhan juta Rupiah untuk bisa sampai di Mekkah, eh setelah sampai di Indonesia, saya tidak dipanggil Bu Haji,” katanya.
Bahkan ada yang sampai tidak mau menoleh kalau namanya dipanggil tanpa menyebutkan gelar hajinya. Yang lucunya lagi, ada sebagian orang di daerah tertentu yang tidak mau menghadiri undangan resepsi pernikahan tetangga atau saudaranya karena namanya yang dicantumkan dalam undangan tidak menyebutkan gelar hajinya.
Mungkin teman atau tetangganya enggan memanggil si Fulan dengan sebutan Pak Haji atau Bu Haji, karena sikap dan perbuatannya sehari-hari tidak mencerminkan seseorang yang pernah melaksanakan ibadah haji. Mungkin ibadah ritual dan sosialnya tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Mungkin juga perbuatan lamanya yang dianggap buruk masih belum bisa ditinggalkan.
Sebaliknya, saya punya kakak yang tinggal di Tanjung Priok. Suami istri ini dipanggil Pak Haji dan Bu Haji oleh para tetangganya setelah pindah di Kompleks Pertamina Tanjung Priok, padahal keduanya belum pernah pergi haji. Juga belum pernah umroh. Ketika Kakak saya menginformasikan hal ini, saya ingatkan, jangan protes dan jangan menolak panggilan haji tersebut, karena hal itu mengandung doa biar bisa benar-benar pergi haji.
Kenapa Kakak saya yang belum pernah haji dan umroh tapi dipanggil Pak Haji dan Bu Haji? Karena suami istri ini rajin ibadahnya. Suaminya sering shalat di masjid dan menghadiri pengajian. Demikian pula istrinya sering menghadiri majlis taklim kaum ibu. Yang tidak kalah pentingnya, mereka sering memberikan santunan kepada tetangganya yang tidak mampu. Tiap bulan membeli beras satu karung untuk dibagikan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Lain lagi dengan teman saya yang sekantor, dia tidak mau dipanggil pak haji setelah sampai di Tanah Air seusai melaksanakan ibadah haji. Bos saya wanita di kantor lebih aneh lagi. Dia tidak mau ribut-ribut saat akan berangkat haji. Kesannya dia berangkat haji dengan sembunyi-sembunyi, agar tetangga dan masyarakat lainnya tidak tahu kalau dirinya akan melaksanakan rukun Islam yang kelima. Bahkan anak buah dan bawahannya dipesan, jangan bilang-bilang sama orang lain kalau dirinya habis melaksanakan ibadah haji.
Teman saya yang sekantor tidak mau dipanggil pak haji karena sikap dan perbuatannya tidak ada perubahan. Ibadahnya hanya kadang-kadang saja dilaksanakan. Demikian pula kebiasan buruknya sebelum pergi haji, tetap saja dilakukan. Demikian pula bos saya yang wanita, sepulang dari Mekkah, dia tidak menunjukkan tanda-tanda sudah melaksanakan ibadah haji. Dia tetap saja tidak pakai kerudung atau jilbab.
Kedua orang ini pergi haji bukan karena panggilan hati dan jiwanya, bukan karena keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, dan yang jelas bukan karena Allah. Mereka pergi haji karena desakan orangtuanya, tetangganya, dan teman-temannya. Sebagai orang kaya, dia merasa malu kalau belum berangkat haji.
Saya pergi haji tahun 2005. Sepulang dari Mekkah, saya bersikeras tidak mau mencantumkan gelar haji di depan nama saya. Demikian pula kalau berkenalan, saya tidak mau menyebutkan diri saya sebagai Pak Haji, karena saya khawatir disebut riya atau pamer. Saya juga takut dianggap sombong kalau mencantumkan embel-embel haji di depan nama saya.
Tapi akirnya sikap saya berubah setelah mendengar ceramah dari KH.Yusuf Mansur yang mengatakan bahwa gelar haji itu pemberian dari Allah. Gelar haji harus dicantumkan di depan namanya agar sadar bahwa kita sudah pergi haji. Kalau mencantumkan gelar haji, maka kita akan malu kalau sampai tidak melaksanakan perintah Allah. Kalau sudah menyebut diri kita sudah haji, kita malu kalau sampai melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Memang orang yang sudah haji seharusnya dapat menunjukkan peningkatan perubahan secara positif dibandingkan masa-masa sebelum haji atau dibandingkan mereka yang belum haji. Seorang yang sudah haji harus punya komitmen untuk melakukan gerakan perbuatan baik dan terpuji, menolong orang yang kesulitan, dan peduli terhadap penderitaan orang lain.
Saya berharap tergolong haji mabrur. Menurut Rasulullah, tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga. Haji yang mabrur memiliki ciri yang khas, yaitu ada getaran perubahan, baik sebelum berangkat, sewaktu di Tanah Suci, dan setelah kembali dari Mekah. Perubahan tersebut meliputi, perubahan ibadah, perilaku dan akhlak, serta perubahan ke arah yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Bahkan getarannya sudah terasa oleh orang di sekitarnya sebelum ibadah hajinya itu sendiri dilaksanakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H