Karena masih diliputi rasa kekecewaan atas dicopotnya Anies Baswedan dari kursi Mendikbud pada Rabu, 27 Juli lalu, saya ingin mengobatinya dengan cara menulis. Yang pasti ABW tidak bersedih dicopot dari jabatan menteri, tetapi saya dan banyak orang bersedih karena kursi Mendikbud kehilangan ABW. Betapa susah rasanya melihat orang berkompeten dan berintegritas masuk lingkungan pemerintahan. Kalaunpun sudah ada, betapa sulitnya bagi mereka untuk bertahan di sana.
Ah tapi sudahlah, saya hanya ingin mengobatinya dengan menulis tentang kenapa saya bisa mengidolakan Anies Baswedan (ABW).
Pertama kali saya mengenal nama ABW yaitu di tahun 2009, saat saya masih duduk di kelas XI SMA. Saat itu sedang hangat topik Cicak vs Buaya yang berujung pada penahanan dua pimpinan KPK, Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah. ABW menjadi salah satu dari 8 anggota Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden untuk melakukan klarifikasi kasus Bibit-Chandra. Di tim 8 itu, beliau ditunjuk sebagai juru bicara. Namun bukan karena itu saya mengidolakan beliau.
Momen dimana saya menemukan sosok idola pada diri ABW terjadi pada tahun 2011. Suatu hari di awal masuk kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, saya bersama beberapa teman melihat spanduk tentang agenda Seminar Nasional bertema Kepemimpinan Nasional dan Pemberantasan Korupsi di gedung JICA FPMIPA dengan pemateri ABW dan Teten Masduki.Â
Saya langsung menyatakan akan datang pada acara tersebut. Teten Masduki saya kenal sebagai Sekjen Transparancy Internasional Indonesia (TII) dan ABW waktu itu saya kenal sebagai mantan anggota Tim Pencari Fakta kasus Bibit-Chandra. Sementara itu teman (yang saat ini sudah naik pangkat menjadi sahabat karib) saya, Alam Syah Pratama, karena mungkin lebih gaul daripada saya, mengenal ABW sebagai salah satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia versi majalah Foresight.Â
Diantara teman-teman yang lain, ternyata hanya Alam yang sudah tahu tentang sosok ABW. Dan setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin karena ABW lah kami sampai hari ini bisa bersahabat. Karena keesokan harinya setelah acara seminar, kami mulai sering ngobrol ngalor-ngidul tentang gagasan-gagasan ABW, Indonesia Mengajar, politik, dan lain sebagainya. Mungkin begitulah cara persahabatan dimulai, yaitu saat dua orang atau lebih bertemu dalam satu frekuensi yang sama. Dan saya dan Alam bertemu dalam frekuensi Anies Baswedan. Entah Alam setuju atau tidak dengan teori saya tersebut. Ah itu tidaklah penting. Saya ingin kembali bercerita tentang awal mula saya mengagumi ABW.
Saat acara seminar berlangsung, ABW menyampaikan ceramah sekitar 30-45 menit. Selama beliau ceramah, saya berulang kali tergugah, tercerahkan, dan terinspirasi dengan gagasan-gagasan yang beliau sampaikan. Inti ceramah beliau setidaknya ada tiga hal. Pertama, beliau menekankan tentang perlunya kita untuk optimis menatap masa depan Indonesia. Apalagi kita punya modal besar. Bukan modal sumber daya alam, tetapi 250 juta sumber daya manusia Indonesia. Kedua, beliau mengulas tentang situasi kepemimpinan nasional dan gagasan dalam mencegah serta memberantas korupsi.Â
Dan yang ketiga, beliau menekankan tentang pentingnya bidang pendidikan sebagai pilar utama dalam pembangunan bangsa. Di sela-sela pemaparan itu beliau juga singgung tentang program Indonesia Mengajar. IM merupakan program pengiriman anak-anak muda terbaik Indonesia ke pelosok negeri untuk menjadi guru selama satu tahun. Tujuannya ada dua. Pertama, yaitu untuk mengisi kekurangan guru SD di pelosok-pelosok negeri. Kedua, sebagai training kepemimpinan bagi anak-anak muda Indonesia. Harapannya, dengan tinggal bersama rakyat Indonesia di pelosok negeri yang tanpa listrik, tanpa sinyal telepon, dan belum tentu ada running water, mereka kelak menjadi pemimpin bangsa yang memiliki world class competence and grasroots understanding.
Selain gagasan-gagasan yang cemerlang, ABW memukau saya dengan cara berpidatonya. ABW memang tidak segarang Soekarno yang dijuluki singa podium, tidak juga seberapi-api Surya Paloh, tetapi ABW memukau dengan kombinasi tatapan mata, gesture, dan intonasinya yang meyakinkan serta kelihaiannya meramu kata-kata yang indah. Bagi saya kemampuan berpidato yang baik itu penting. Dan ABW adalah satu dari hanya sedikit tokoh bangsa hari ini yang pidatonya tidak menjadi ‘nyanyian’ pengantar tidur para pendengar. Siapapun yang merasa sebagia pejabat publik, boleh belajar dari ABW agar setiap sambutannya menjadi sambutan yang disimak penuh antusias, bukan didengar dengan malas.
Setelah momen seminar tersebut, saya mulai banyak mencari informasi tentang profil ABW. Artikel-artikel di internet yang memberitakan ABW saya baca. Tulisan-tulisan yang ditulis sendiri oleh ABW juga saya baca. Setiap ada acara di Bandung yang menghadirkan ABW sebagai pembicara, pasti saya kejar. Setiap ada acara di televisi yang menghadirkan ABW sebagai bintang tamu atau narasumber, pasti saya tonton. Tidak hanya itu, saya juga banyak mengunduh video-video pidato atau ceramah ABW dari internet. Video-video tersebut saya tonton berulang kali, tak pernah bosan. Bahkan jika sedang kurang semangat beraktivitas dan berkarya, video pidato ABW adalah salah satu mood booster saya.
Walaupun begitu, salah jika ada orang yang menilai ABW hanya sekedar jago berbicara. Jika ada yang berpikir begitu, silahkan cari di mbah google tentang track record ABW. Jangan hanya track recordnya ketika dewasa yang karya-karya serta sumbangsihnya untuk bangsa sudah terpampang nyata, tetapi lihat juga track recordnya sejak ia masih di bangku sekolah.Â