Mohon tunggu...
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

HAM Mengenai Hukuman Mati: Kontra terhadap Hukuman Mati bagi Koruptor

5 Juli 2024   08:07 Diperbarui: 5 Juli 2024   08:07 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM, bahkan bagi koruptor kelas kakap sekalipun. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional, khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12/2005, yang dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan. Hukum internasional hak asasi manusia di beberapa negara dan kawasan telah berulang kali menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Oleh karenanya, selain bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, praktik eksekusi hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia dalam hukum nasionalnya melalui UU No. 5/1998.

Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang adil dan beradab". Dan juga bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yaitu sebagai berikut:

Pasal 28A UUD 1945 yaitu, setiap orang berhak atas hak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya. Jadi, jelaslah bahwa para koruptor juga berhak atas hidupnya, tidak seharusnya di hukum mati.

Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 sudah jelas menjelaskan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sudah jelas dalam pasal ini bahwa hak untuk hidup itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, apalagi hukuman mati yang diterapkan di Indonesia dilakukan dengan cara penembakan, bagaimana jika pelaku ternyata belum mati? Itu justru hukuman siksaan dan dalam pasal ini dinyatakan bahwa penyiksaan itu tidak boleh dilakukan.

Masyarakat banyak yang mengatakan bahwa hukuman mati dapat memberi efek jera, namun fakta membuktikan sebaliknya. Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan hukuman mati menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Contoh: China sebagai negara yang telah menerapkan hukuman mati untuk koruptor, tetapi sampai sekarang tidak berhasil memperbaiki peringkat korupsinya. Dalam laporan tahunan Parlemen China, sepanjang 2016 Pengadilan China telah menerima laporan 45 ribu kasus gratifikasi yang melibatkan 63 ribu orang. Bila dibandingkan dengan laporan 2015, maka angka tersebut naik hingga sepertiganya. Alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar-besarkan selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati rangking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru rangking 1, Denmark rangking 2.

Ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat. Belum terbukti negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban. Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di negeri China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia.

Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang sering kali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana. Kombinasi dari kurangnya kontrol peradilan yang efektif, khususnya terhadap panjangnya masa penahanan pra-persidangan, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding yang efektif, serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dapat dikoreksi (irreversible). Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman sering kali tidak dapat terhindarkan dalam praktik hukum pidana. Praktik hukuman mati meniadakan mekanisme koreksi. Padahal, peluang terjadinya kesalahan penghukuman dalam sistem peradilan begitu besar serta kurangnya kontrol peradilan yang efektif, tidak bulatnya suara majelis hakim atas suatu putusan hukuman mati dan mekanisme banding yang tidak efektif membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari syok, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distres, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.

Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.  Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor. Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.

Bagaimana pun koruptor adalah manusia yang juga mempunyai hak asasi manusia, hak untuk hidup. Memang koruptor melakukan kesalahan yang merugikan banyak orang. Tapi semua orang melakukan kesalahan, dan semua orang dapat memperbaikinya. Manusia bisa melakukan kekhilafan, begitu juga dengan orang yang melakukan korupsi. Hukuman mati tak akan langsung begitu saja menyelesaikan masalah. Orang yang yakin tindakan korupsinya tak akan tercium pasti akan tetap banyak. Dan dengan hukuman yang mempunyai tingkatan paling tinggi ini, tak kecil kemungkinan orang malah mencari jalan yang lebih canggih dan kreatif untuk berkorupsi lebih rapi. Misalnya, yang mendapatkan hukuman mati adalah yang mengorupsi 10 miliar ke atas. Betapa enaknya yang mengorupsi 9,9miliar. Ia hanya akan mendapatkan hukuman penjara, misalnya. Jika tahu begini, semua koruptor akan memutar otaknya dan bisa terjadi kemungkinan ada yang berpikir untuk mengorupsi dengan cara mencicil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun