Mohon tunggu...
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle dan Perkembangan Hukum Etika Bisnis Halal di Indonesia

21 Agustus 2023   20:27 Diperbarui: 21 Agustus 2023   20:50 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fokus diskusi halal adalah tiga negara anggota ASEAN yang terikat dengan Perjanjian IMT GT. Sejak 1993, tiga anggota ASEAN, Indonesia, Malaysia, dan Thailand memiliki perjanjian khusus yang disebut IMT GT. (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle). Tujuan dari Perjanjian IMT GT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan tiga negara anggota ASEAN, terutama mereka yang tinggal di perbatasan masing-masing negara. Selain itu sebagai bagian dari kesepakatan tersebut berisi masalah halal. Selain bagian dari kesepakatan yang terkandung dalam masalah halal di Malaysia dan dinamika halal di Thailand, ada dua ilmuwan terkemuka yang berasal dari Indonesia. Ketiga negara ini memiliki kontribusi yang signifikan untuk pengembangan industri halal, sertifikasi, dan gaya hidup di negara tempat mereka tinggal.

Di negara-negara Islam seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia, implementasi jaminan halal diselenggarakan oleh lembaga agama Islam yang diakui secara nasional. Hanya di Malaysia, sistem jaminan halal dilakukan oleh negara (pemerintah) karena sistem Kerajaan Islam Malaysia, di mana di Malaysia, Raja (dalam hal ini adalah Perdana Menteri) melayani hal tersebut. Sedangkan jaminan halal di berbagai negara lainnya ditangani lembaga keagamaan. Di Thailand halal juga dianggap penting karena kontribusinya yang besar untuk total GDP tahunan negara itu, lembaga keagamaan Thailand yang disebut CICOT (Central Islamic Council of Thailand) berada langsung di bawah Raja Thailand. Di Indonesia, BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) atau lembaga pemerintah untuk sistem jaminan halal berada di bawah Kementerian Agama, sebenarnya Menteri Agama adalah asisten Presiden, oleh karena itu lembaga halal di Indonesia tidak langsung di bawah Presiden Indonesia.

Dengan prinsip nasional sebagai "Islam Agama Negara", nilai moral Islam adalah jiwa dan fondasi di Malaysia. Konstitusi Federasi menetapkan bahwa Islam adalah agama resmi Federasi, tetapi agama dan keyakinan lain dapat dipraktikkan dengan aman di setiap bagian dan diskriminasi terhadap warga atas alasan agama dilarang secara ketat. Di Thailand, prinsip nasionalnya adalah Buddhisme (Buddha Trevada), dengan karakter yang indah dalam keterbukaan. Keterbukaan untuk dengan mudah merangkul pengaruh eksternal Buddha, dengan satu syarat bahwa selama itu tidak akan menghilangkan keaslian Buddha Trevada. Oleh karena itu, dapat sepenuhnya dimengerti ketika ditemukan bahwa melalui sejarah yang telah ditulis oleh beberapa ilmuwan bahwa Muslim di Thailand akan selalu dianggap sebagai Muslim Thai, dan bukan sebagai Muslim Thailand.

Indonesia memiliki prinsip nasional yang disebut "Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika". Artinya, Indonesia (dalam cara Sanskrit) lahir untuk menjadi "negeri kesepakatan" atau negara perjanjian. Meskipun, Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Islam di Indonesia diadopsi oleh sebagian besar penduduknya (untuk lebih dari 80 persen di antara sekitar 267 juta penduduk), Islam tidak "terlarut-larut" ditempatkan sebagai dasar negara.

Sejak tahun 2017, terdapat beberapa perkembangan baru terkait dengan aturan hukum-bisnis-etika terkait serba halal di Indonesia. Jika sebelumnya jaminan produk halal (JPH) dilaksanakan oleh masyarakat dan bersifat voluntary, melalui UU No. 33 tahun 2014, tugas JPH beralih dan menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) dan bersifat mandatory. Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pemerintah pada tahun 2017 mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertugas mengatur dan mengawasi sertifikasi halal produk serta memberikan izin usaha halal bagi produsen dan bisnis. Mulai tanggal 17 Oktober 2019, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag menggantikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Komestika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sebagai otoritas pemberi sertifikat halal. Kewajiban bersertifikat halal oleh BPJPH mulai diberlakukan sejak 17 Oktober 2019.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal) ini memiliki tujuan untuk mengatur kehalalan produk, baik makanan maupun non-makanan, dan memastikan bahwa produk yang beredar di Indonesia sesuai dengan prinsip halal. Undang-undang tersebut juga mewajibkan produsen, importir, dan distributor untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk produk mereka sebelum dijual di Indonesia. Hal ini memiliki dampak besar terhadap industri makanan dan minuman, serta industri lain yang terkait. Dalam UU JPH, yang dimaksud dengan produk adalah "barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat". Sertifikasi sendiri hanya diwajibkan bagi produsen yang mengklaim produk mereka halal. Sementara bagi pengusaha produk yang mengandung unsur haram menurut syariat Islam seperti babi atau alkohol mendapat pengecualian. Meski demikian, produk-produk yang dinilai haram harus mencantumkan keterangan tidak halal.

Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang dijual di Indonesia memiliki label halal. Ini adalah langkah penting untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen tentang status halal produk. Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk meningkatkan pemahaman tentang halal melalui pendidikan dan pelatihan kepada para produsen, pemangku kepentingan bisnis, dan masyarakat umum. Ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya standar halal dan bagaimana mengikuti regulasi yang berlaku. Selama periode ini, kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya konsumsi produk halal terus meningkat. Ini mendorong perubahan dalam perilaku konsumen dan memberikan insentif bagi produsen dan bisnis untuk mematuhi standar halal. Lembaga-lembaga sertifikasi halal di Indonesia juga mengalami peningkatan dalam kapasitas dan kualitas layanan mereka untuk memenuhi permintaan sertifikasi halal yang semakin meningkat.

Indonesia juga memiliki roadmap pengembangan ekonomi syariah dan industri halal nasional. Salah satu poin penting roadmap itu adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat atau destinasi halal dunia (global halal hub). Ekspektasi menjadikan Indonesia sebagai global halal hub dan produsen terbesar produk halal di dunia sesungguhnya amat rasional. Kita memiliki apa yang disebut sebagai modal halal (halal capital). Dari sisi modal religius dan demografis, Indonesia memiliki jumlah pemeluk muslim terbesar di dunia, mencapai 209,1 juta jiwa atau sekira 13,1% dari populasi muslim dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun