Izzat mengambil buku itu dan mulai membalik-balik halamannya. Gambar-gambar hutan yang rimbun, sungai yang jernih, dan langit biru seolah menertawakan kondisi dunia saat ini. "Kamu yakin hal-hal seperti ini bisa diterapkan lagi? Maksudku, dunia kita sekarang sudah terlalu rusak."
Yaka menepuk bahu Izzat dengan penuh semangat. "Aku nggak tahu pasti. Tapi lebih baik mencoba dari pada tidak melakukan apa-apa, kan?"
Setelah beberapa saat merenung, Izzat tersenyum tipis. "Kamu benar, Yaka. Kalau kita menyerah sekarang, kita nggak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Jadi, apa rencanamu?"
Yaka tersenyum lebar. "Aku punya ide. Kita bisa mulai dari hal kecil. Bagaimana kalau kita bersihkan sungai kecil di dekat sini? Itu memang kecil, tapi masih mengalir dan mungkin bisa jadi awal yang baik."
Esok paginya, Izzat dan Yaka berkumpul bersama beberapa teman mereka di tepi sungai yang dulunya jernih namun kini dipenuhi sampah plastik. Aris, salah satu teman mereka, memandang sungai itu dengan skeptis.
"Serius, kita mau membersihkan ini? Ini sungai atau tempat pembuangan sampah?" kata Aris, sambil menendang kaleng kosong yang mengapung di air hitam.
Yaka menjawab dengan tegas, "Ya, serius! Kita harus memulainya! Kalau nggak, siapa yang akan melakukannya?"
Izzat ikut menimpali, "Kalau nggak ada yang mulai, siapa yang akan memulainya? Kita harus jadi contoh!"
Aris mengangkat bahu. "Oke, aku ikut, tapi jangan harap hasilnya besar, ya."
Mereka mulai bekerja. Dengan kantong-kantong sampah dan sarung tangan, mereka mengumpulkan plastik, kaleng, dan limbah lainnya dari sungai. Awalnya, pekerjaan itu terasa sia-sia. Sampah terus berdatangan dari aliran hulu, dan airnya masih tampak hitam dan keruh. Tapi perlahan, mereka mulai melihat perubahan kecil. Air yang mengalir dari bagian yang sudah mereka bersihkan tampak sedikit lebih jernih.