Mohon tunggu...
Gufron Ramadhan
Gufron Ramadhan Mohon Tunggu... Seniman - Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Hobi menulis dan berolahraga; menulis untuk mengekspresikan ide, dan olahraga untuk menjaga kebugaran dan menghadapi tantangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Napas Terakhir Sang Bumi

15 Januari 2025   19:40 Diperbarui: 15 Januari 2025   19:40 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bumi Diselimuti Sampah & (Sumber: Freepik.com)

Hembusan angin terasa berat, seolah-olah Bumi berusaha menarik napas terakhirnya. Kota tempat Izzat tinggal kini tak lebih dari gumpalan debu dan asap. Langit tak pernah lagi biru seperti yang diceritakan dalam buku-buku lama. Semua orang hidup dalam kubah-kubah kaca yang melindungi mereka dari udara beracun di luar. Dulu, kota ini dikenal dengan keindahan alamnya, namun sekarang hanya reruntuhan dan tanah kering yang tersisa.

Izzat, seorang remaja berusia 17 tahun, duduk termenung di kamarnya. Melalui jendela kecil, ia melihat debu beterbangan di udara. "Apa ini yang tersisa dari Bumi?" gumamnya pelan. Layar ponselnya terus menampilkan berita-berita terbaru yang memprihatinkan. "Banjir besar melanda kota-kota pesisir," "Hutan terakhir di utara terbakar habis," dan "Samudra berubah menjadi lautan plastik."

      Tiba-tiba, pintu kamar Izzat terbuka, dan Yaka masuk dengan wajah gelisah.

"Izzat, kamu lihat berita terbaru?" Yaka bertanya dengan nada cemas. "Banjir di pesisir itu lebih parah dari yang kita bayangkan. Banyak orang kehilangan tempat tinggal."

Izzat menghela napas panjang. "Aku sudah lihat, Yaka. Rasanya seperti dunia ini sudah tidak punya harapan lagi."

Yaka duduk di sebelah Izzat dan menatapnya serius. "Tapi kita nggak bisa cuma duduk diam dan meratapi keadaan, kan? Harus ada yang bisa kita lakukan."

"Apa yang bisa kita lakukan, Yaka?" balas Izzat, suaranya terdengar penuh frustrasi. "Lihat saja kota ini. Langit selalu kelabu, sungai-sungai penuh sampah, dan kita bahkan nggak bisa keluar rumah tanpa masker."

Yaka terdiam sejenak, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku tua. "Aku menemukan ini di perpustakaan tua dekat sini. Lihatlah, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari masa lalu."

Izzat mengernyitkan dahi. "Buku lama? Apa gunanya buku di saat seperti ini?"

Yaka tersenyum kecil. "Bukan sekadar buku. Ini tentang bagaimana manusia dulu hidup berdampingan dengan alam. Mereka menanam pohon, menjaga sungai tetap bersih, dan menghormati alam. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun