Dalam dunia kajian antropologi di Indonesia, hampir pasti benak kita merujuk pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh orang-orang asing. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada tahun 50an di daerah Kediri, Jawa Timur. Karya penelitian tersebut dalam versi bahasa Indonesia berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Martin van Bruinsen selama delapan tahun (1968-1976) dengan judul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Kemudian contoh karya penelitian antropologi yang tidak kalah penting lainnya adalah dari Merle Calvin Ricklefs yang berjudul Mengislamkan Jawa.
Karya-karya besar tersebut menunjukkan bahwa budaya, pemahaman masyarakat terhadap agama, dan tradisi yang ada di Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga menarik para pakar untuk melakukan penelitian yang di antara mereka bahkan membutuhkan waktu selama bertahun-tahun dan melebur dalam masyarakat.
Terlepas dari itu, antropolog "lokal" pun tidak kalah penting dan patut diapresiasi. Belum lama ini, seorang antropolog dan ahli sejarah dari New York University kelahiran Semarang, Ismail Fajrie Alatas, unjuk gigi dalam kajian antropologi di Indonesia. Buku yang diadopsi dari disertasi miliknya diterbitkan oleh Princeton University Press pada Januari 2021 lalu berjudul What Is Religious Authority?. Buku ini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Mizan pada Januari 2024 yang lalu.
Pada acara bedah buku yang dilaksanakan pada Rabu, (27/2) di gedung rektorat lantai 3 UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Dalam acara ini, Alatas bertindak sebagai pemateri. Selain itu, Prof. Masdar Hilmy (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya) dijadikan sebagai pembanding.
Di depan ratusan audiens beliau mengatakan bahwa ditulisnya buku tersebut berangkat dari keresahan dan keingintahuan Alatas secara kompleks tentang makna "otoritas" dan adanya distingsi dengan teori 'karisma" dan "rutinisasi" yang dicetuskan oleh Max Weber yang telah menguasai kajian otoritas keagamaan Islam.
Kepemilikan "otoritas" sangat penting bagi seseorang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Dalam konteks ini, otoritas yang dimaksud adalah otoritas keagamaan. Alatas memilih tokoh Habib Luthfi bin Yahya dalam penelitian tersebut. Habib Luthfi dianggap layak memiliki otoritas karena didukung beberapa faktor yaitu, keturunan, sanad ilmu, dan thariqah.
Habib Luthfi sebagai tokoh yang dipercaya sebagai keturunan dari Nabi Muhammad atau memiliki hubungan masa lalu dengan kenabian dan sanad keilmuan yang bersambung menjadi faktor terbentuknya otoritas keagamaan dalam dirinya. Namun, ketiga faktor di atas belum cukup sehingga perlu adanya jama'ah. Terciptanya jama'ah tidak bisa terlepas dari kerja-kerja berkelanjutan yang dilakukan Habib Luthfi. Jama'ah merupakan bagian lebih kecil dari umat.
Topik penting lainnya adalah tentang makna Sunnah. Alatas memiliki pandangan dinamis tentang makna Sunnah yang pada umumnya dimaknai sebagai segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan lain sebagainya yang disandarkan kepada Nabi Muhammad.
Lebih luas dari itu, Alatas mengatakan bahwa Sunnah bersifat kumulatif, hidup, dan dinamis sesuai kondisi sosial. Sunnah juga merupakan bentuk norma kehidupan yang hidup. Di sinilah pentingnya otoritas untuk menjelaskan dan mempraktekan Sunnah yang telah berumur ribuan tahun karena tidak sedikit teks Sunnah yang tersaji dalam kitab-kitab hadis sulit dipahami.