Suatu waktu saya membaca sebuah buku tepatnya pada bagian pembahasan tentang ilmu Kalam dan menemukan sebuah kalimat cukup menarik, kira-kira kalimat tersebut seperti ini: "Bagi orang awan filsafat itu menyesatkan dan bagi orang awam ilmu Kalam itu membingungkan". Sayangnya saya lupa judul dan penulis buku tersebut.
Kutipan kalimat tersebut saya jadikan caption pada sebuah postingan status Facebook saya pada beberapa minggu yang lalu. Guru saya sekaligus teman diskusi berbagai hal yang tidak mengenal waktu, Muttabi'in Muhammad memberikan komentar yang di luar prediksi melalui pesan WhatsApp, alih-alih langsung di kolom komentar Facebook.
Pokok permasalahannya pada diksi "awam" yang digunakan pada kalimat di atas yang menurutnya kurang tepat. Kang Muttabi'in, panggilan yang biasa saya gunakan, menyodorkan sebuah pertanyaan berkaitan dengan diksi tersebut. "Apakah pengarang buku Ta'lim al-Muta'alim (Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji) itu awam?" Saya jawab. "Dapat dipastikan tidak." Guru saya mengabarkan bahwa penulis buku tersebut dalam karyanya itu menyesatkan filsafat atau lebih tepatnya melarang belajar filsafat kepada para pelajar/santri.
Jadi, menurut guru saya kurang tepat jika menggunakan diksi "awam". Meskipun dalam benak saya "awam" di sini maksudnya adalah mereka "orang kebanyakan" yang memang tidak terbiasa (tidak ahli) dalam ruang pembahasan tentang filsafat sehingga mereka bisa saja tersesat akibat salah paham.
Artinya, meskipun seseorang menghukumi filsafat itu sesat bukan berarti orang tersebut awam. Bahkan bisa saja ia telah mengatahuinya secara mendalam tentang filsafat tetapi terdapat bagian dalam filsafat yang menurut pandangannya tidak sesuai dengan nilai-nilai atau bertentangan dengan syari'at Islam.
Dalam hal ini kita bisa menyebutkan seorang tokoh besar Islam yang kiranya mirip dengan gambaran di atas yakni, Imam al-Ghazali. Ulama yang bergelar Hujjat al-Islam itu bahkan mengkafirkan beberapa filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Kindi yang menurutnya pemikiran-pemikiran fisafat mereka bertentangan dengan syari'at khususnya tentang ke-qadim-an alam, pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.
Kembali ke pembahasan tentang pandangan Al-Zarnuji tentang filsafat. Pada salah satu bagian pada buku tersebut yang berkaitan dengan etika dalam belajar, Al-Zarnuji melarang seorang santri menggunakan tinta merah ketika menulis dalam proses belajar karena menurutnya merupakan kebiasaan dari seorang filsuf, bukan kebiasaan ulama salaf. Jangankan menggunakan tinta merah, mengendarai kendaraan berwarna merah pun dilarang karena identik dengan para filsuf.
Sebelumnya, pada bagian awal buku ini, Al-Zarnuji juga memberi peringatan kepada santri agar mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari ulama salaf (ilmu agama) dan meninggalkan ilmu selainnya termasuk ilmu debat.
Konteks debat dalam kasus ini adalah perbedaan pandangan yang terjadi setelah kematian para ulama yang bekaitan dengan ilmu fikih . Namun, seperti kita ketahui debat tidak hanya terjadi pada pembahasan tentang fikih tetapi juga pada filsafat yang dapat berlangsung selama berabad-abad dan tidak menemukan kesimpulan yang pasti. Al-Zarnuji menilai bahwa debat hanya akan menimbulkan persoalan negatif seperti membuang-buang waktu/umur, memicu keresahan, dan permusuhan.
Penilaian negatif Al-Zarnuji terhadap filsafat dapat dimaklumi karena berkaitan dengan sasaran buku Ta'lim al-Muta'alim sendiri yang diperuntukkan untuk mereka yang baru akan menuntut ilmu sehingga perlu preferensi ilmu apa yang sangat penting dan dibutuhkan serta paling bermanfaat baginya. Ini juga lah yang menjadi pemantik awal Al-Zarnuji menulis buku ini disamping pentingnya mengetahui etika-etika dalam menuntut ilmu oleh pencari ilmu.