Menjelang kedatangan Islam, kondisi masyarakat Arab memprihatinkan dari segi moral dan akhlak. Peperangan antar suku, penyembahan berhala, kemaksiatan, perbudakan, ketidakadilan terhadap perempuan, dan lain sebagainya menjadi hal biasa ditemui di masyarakat Arab ketika itu. Philip K. Hitti dalam History of The Arabs mengatakan bahwa hal-hal tersebut wajar karena tidak adanya otoritas hukum, Nabi, dan kitab suci yang mengatur hidup mereka. Permasalahan tersebut menjadi alasan al-Qur`an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara bertahap atau berangsur-angsur selama sekitar 23 tahun (22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Oleh sebab itu kita perlu mengetahui bagaimana kondisi sosial masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam (jahiliyah) dari segi budaya dan keagamaan.
Pembahasan tentang sejarah al-Qur`an atau Islam pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang bagaimana kondisi budaya dan keagamaan masyarakat Arab pra-Islam. Masa pra-Islam menurut sejarawan Arab adalah 150 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dari segi keagamaan masyarakat luas di kawasan Arab percaya bahwa mereka adalah keturunan Ismail putra sulung Ibrahim yang menganut monoteisme atau yang dikenal sebagai hanifiyyah (agama yang lurus). Agama ini dibawa oleh Nabi Ibrahim sebelum Islam datang yang dibawa oleh Muhammad.
Selain itu peninggalan lain dari Ibrahim dan Ismail yang monumental yang bertahan hingga sekarang yakni Ka’bah, bangunan suci berbentuk kubus yang terletak di tengah-tengah Makkah yang pada awalnya dibangun oleh Adam yang kemudian direkonstruksi oleh Ibrahim dan Ismail. Pada saat itu Ka’bah menjadi tujuan utama orang-orang pagan maupun Kristen Arab berkumpul melakukan ritus-ritus kuno di area Ka’bah pada musim haji. Di era berikutnya diperkenalkan penyembahan berhala ketika Ka’bah berada di tangan Bani Khuza’ah. Lalu pemegang Ka’bah selanjutnya adalah suku Quraisy mereka melanjutkan jalur keturunan Ismail.
Di Makkah terdapat paganisme Arab yang lebih kuat dibandingkan di tempat-tempat lain. Berbeda dengan kelumrahan tersebut orang-orang Badui sama sekali tidak peduli dengan agama. Menurut mereka segala sesuatu dikendalikan oleh masa dan takdir, segala sesuatu akan musnah, bahkan petarung hebat pun akan mati. Pemikiran seperti ini yang menyebabkan mereka menolak keras gagasan eskatologi (kehidupan setelah kematian) yang di dalam al-Qur`an banyak kita temui pada ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah (ayat makkiyah).
Namun di samping sebagai penganut paganisme mereka juga menyembah beberapa dewa bahkan mereka percaya bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi. Mereka biasa berdoa atau meminta pertolongan kepada-Nya ketika mengalami kesusahan dan melupakan-Nya ketika masalah telah selesai yang artinya mereka menyembah secara kondisional saja atau ketika dalam keadaan darurat. (Q.S Yunus: 22-24; al-Baqarah: 61; Az-Zumar: 38.). Orang Makkah juga percaya pada dewi-dewi yang dipercaya sebagai putri Allah yakni Latta, Uzza, dan Manat yang disimbolkan dengan batu-batu tegak raksasa di kota-kota oasis dekat Makkah yaitu Thaif, Nakhlah, dan Qudaid. Nama dewi-dewi tersebut disebut dalam Q.S An-Najm ayat 19-20:
Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lāta dan Al-'Uzzā, dan Manāt, yang ketiga yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah).
Menurut Karen Armstrong dalam The Lost Art Of Scripture bahwa di sekitar oase-oase Madinah, Tayma, Fadak, Khaibar, Wadi al-Qura, dan Yaman terdapat koloni Yahudi. Keberadaan umat Yahudi di Arabia dapat dilacak mulai abad pertama Masehi. Kaisar Titus melakukan penaklukan Yerussalem sekitar 70 M serta penumpasan pemberontakan Bar Kochba sekitar 135 M kiranya menjadi penyebab umat Yahudi terpaksa meninggalkan kota tersebut untuk mengembara kemudian menetap di Arabia. berbeda dengan Madinah dan daerah sekitarnya, kota Makkah tidak dimasuki Yahudi karena di sana adalah pusat penyembahan berhala. Meskipun Yahudi tidak menyebar di Makkah, orang Quraisy akrab dengan agama Yahudi karena kota-kota yang ditempati orang-orang Yahudi tersebut adalah jalur perniagaan Yaman dan Syria.
Berbeda dengan kaum Yahudi, orang-orang Kristen di Arabia berada di posisi yang kurang baik dilihat dari sisi difusi dan kohesinya. Tidak seperti kaum Yahudi, orang-orang Kristen tidak terkonsentrasi di oase-oase tetapi mereka memiliki pengikut dari kalangan Badui yang menetap di sekitar perbatasan Syria dan Yaman serta Hira. Di Syria dan Yaman pemeluk Kristen bermazhab monofisit, sementara di Hira pemeluk Kristen memeluk paham Nestorian. Di Makkah terdapat penganut Kristus terkenal yaitu Waraqah bin Nawfal yang merupakan sepupu dari Khadijah, istri pertama Muhammad. Waraqah merupakan tokoh penting dalam sejarah awal kenabian Muhammad yang mampu melihat ciri-ciri kenabian yang dimiliki oleh Muhammad yang di antaranya ketika Muhammad datang dengan diantar oleh Khadijah dan bercerita tentang peristiwa yang dialaminya ketika melaksanakan uzlah di gua Hira.
Orang-orang Quraisy Makkah memiliki kebiasaan berdagang ke berbagai negara pada dua musim yakni musim panas dan musim dingin. Ketika musim panas mereka melakukan perjalanan berdagang ke Syam dan ketika musim dingin ke Yaman. Aktivitas berdagang yang dilakukan orang Quraisy ini digambarkan dalam Q.S Quraisy ayat 1-2:
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.