Belakangan ini Indonesia sedang menghadapi darurat kekerasan seksual. Baru baru ini terdapat kasus yang pelakunya berasal dari akademisi. Kita kembali disadarkan atas ketidakseriusan pihak kampus dan khususnya Negara dalam menangani isu tersebut. Upaya untuk memperjuangkannya melalui pengaturan hokum menemuui banyak hambatan, setidaknya sejak tahun 2020 ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Meskipun pada akhir maret 2020 RUU ini kembali masuk ke daftar perencanaan pembentukan Undang-Undang, namun pro dan kontra terkait pengesahannya tidak pernah mereda. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah situasi genting peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Menurut data dari catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020 (komnas perempuan 2020), kekerasan seksual menempati angka tertinggi pada bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat. Selain itu, sebesar 58% dari total angka kekerasan seksual terhadap perempuan terjadii di wilayah public dan komunitas. Data system informasi online perlindungan perempuan dan anak dari bulan Januari sampai Juli 2020 menunjukan bahwa dari total 4.116 kasus kekerasan terhadap anak, angka terbesar adalah kasus kekerasan seksual yaitu mencapai 2556 kasus (Kamil 2020)
      Merujuk pada survey yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir dengan stigma negative. Selain itu, data Komisi Nasional Perempuan menunjukan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020. Menurut Mentri Nadiem, kasus kekerasan seksual yang sejauh ini terungkap di kampus hanya lah "puncak gunung es" dari puluhan ribu, bahkan ratusan ribu kasus yang sebenarnya terjadi. Para aktivis, akademisi, dan pihak yang mempunyai keprihatinan terhadap isu kekerasan seksual memandang RUU PKS sebagai solusi yang mendesak untuk segera diberlakukan.
      Terbitnya peraturan menteri pendidikan kebudayaan riset dan teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bagai angin segar dalam upaya pencegahan kekerasan seksual, langkah tersebut dipandang sebagai suatu langkah yang progresif oleh sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan aturan ini merupakan respons atas kegelisahan di lingkungan kampus atas meningkatnya kasus kekerasan seksual. Lewat peraturan tersebut, maka kampus wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Langkah tersebut sangatlah baik mengingat satuan tugas yang dibentuk melalui peraturan tersebut dapat membuat korban pelaku kekerasan seksual mempunyai tempat aman untuk mengadukan tindak pidana tersebut dan sebagai langkah awal untuk memberi perlindungan terhadap korban kekerasasn seksual. Namun capaian pencegahan kekerasan seksual tidak akan berarti tanpa perkembangan gerakan untuk memperjuangkan pencabutan akar permassalahan. Menyelesaikan akar persoalan berarti harus mampu melihat kekerasan seksual sebagai bagian dari kesatuan permasalahan kompleks yang diciptakan oleh sistem.
      Menggunakan perspektif Feminist dalam hal ini, kaum perempuan berusaha untuk mengakhiri eksploitasi serta penindasan yang dialaminya, kendatipun antar feminis memiliki selsisih penyebab atas hal-hali tersebut. Pada dasarnya mereka sepakat bahwa hakikat dari para feminis adalah de,I terwujudnya kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan juga kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah (Fakih, 1999: 99-100). Secara umum feminisme muncul dikarenakan keyakinan bahwa perempuan telah diperlakukan secara tidak adil dalam masyarakat dengan tujuan memprioritaskan cara pandang laki-laki serta berbagai kepentingannya. Kekerasan seksual yang dialami perempuan membuat dirinya geram, marah, kecewa, sekaligus takut tentang apa yang akan terjadi apabila dia melaporkan pelaku kekerasan seksual. Merujuk pada survey yang dilakukan Kemendikbud sebagian besar korban memilih bungkam dan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya dengan berbagai alasan. Bungkamnya perempuan selama ini membuat terbukanya celah bagi laki-laki untuk terus melakukan penindasan. Ketidakadilan bagi perempuan terus terjadi di ruang public maupun privat. Untuk itulah, sebagai alternative, paradigma hukum berbasis keadilan gender dipandang sebagai solusi yang mempu mendorong perlindungan jangka panjang.
      Stigma negatif tentang perempuan sebagai penggoda, obyek pengontrolan seksual, dan pandangan-pandangan kecendrungan sikap yang menabukan seksualitas perempuan menyebabkan perkembangan pandangan kecendrungan dalam sikap menyalahkan korban atas kekerasan seksual yang dialami dirinya. Kebanyakan tanggapan feminis terhadap kekerasan seksual khusunya yang terjadi pada perempuan adalah mendorong adanya pengaturan dan reformasi hukum sebagai tujuan utama.
      Solusi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana kekerasan seksual adalah reformasi hukum yang harus segera dilakukan. Hukum harus adil dan juga harus mempertimbangkan ketimpangan structural yang dialami korban. Harus dipahami bahwa kekerasan seksual menjadi bagian dari kompleksitas isu yang bersifat structural. Metode pembuktian secara hukum juga kerap kali di kritik karena kekerasan seksual merupakan pengalaman traumatis yang dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, serta konsekuensi merugikan bagi para penyintas. Sudah saatnya budaya dalam bermasyarakat didasari oleh rasa toleransi satu sama lain tanpa meninggikan/merendahkan posisi salah satu gender, karena setiap manusia berhak hidup berdampingan dan saling menerima perbedaan antara satu sama lain. Hal yang paling mudah dilakukan adalah saling menghormati. Dengan menghormati perbedaan ini dapat menjadikan keduanya saling memahami dan bekerja sama dalam harmoni yang proposional. Menghormati akan membuka dialog yang sehat sehingga kedua belah pihak dapat mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan pihak lain. Dan tindakan penindasan dapat dihindari karena kedua belah pihak sama-sama tahu pada tindakannya sendiri dan tindakan orang lain.
Daftar PustakaÂ
Â
Arivia, G. (2003). Filsafat Berprespektif feminis. Jakarta Selatan : Yayasan Jurnal Perempuan.
Kamil, Irfan. 2020. Kementerian PPPA Catat Ada 4116 Kasus Kekerasan Anak Dalam 7 Bulan Terakhir. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/15410871/kementerian-pppa-catat-ada-4116-kasus-kekerasan-anak-dalam-7-bulan-terakhir?page=all
Komnas Perempuan. 2020. Catatan Tahunan 2020. https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2020-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-kebijakan-penghapusan-kekerasan-seksual-menciptakan-ruang-aman-bagi-perempuan-dan-anak-perempuan-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2019