Mohon tunggu...
Mohamad Farhan Salim
Mohamad Farhan Salim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi S1-Sejarah

Seorang mahasiswa Sejarah di salah satu kampus negeri di Semarang. Penulis baru, memiliki ketertarikan di bidang Sosial-Humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Book

Sudah Saatnya Novel Teenlit di Gramedia Direvisi

22 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 22 Maret 2024   08:03 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Novel teenlit banyak bergantungan di pintu masuk gramedia, pun di meja-meja display, tak kalah banyaknya. Novel teenlit (teen literature) adalah kategori novel roman yang banyak menceritakan masa-masa remaja, terutama cinta di usia SMA. Novel teenlit amat digemari kelompok muda. Banyak anak SMP, SMA, atau bahkan mahasiswa dan dewasa yang masih menyukai kategori karya sastra ini.

Jika kita lihat pada realitanya, novel teenlit ini pada intinya semakin laku di pasar jika pengarangnya berhasil membuat pembaca baper dengan cerita fiktifnya. Semakin baper pembacanya, semakin sukses novel tersebut. Sebenarnya teenlit ini tidak boleh semata-mata kita pandang sebagai hal yang buruk. Tetap ada hal positif di dalamnya. Setidaknya teenlit memberikan sumbangan kepada budaya literasi di kalangan anak muda. Akan tetapi, jika kita melihat lebih luas, teenlit hanya mendatangkan imajinasi roman yang terfokus pada kisah percintaan saja. Tidak lebih.

Mengenai hal ini, saya teringat dengan tulisan Moh. Natsir, tokoh Masyumi terkemuka di tahun 50an. Natsir bilang bahwa untuk membaca roman seharusnya kita sudah bisa membaca "yang tersirat". Dalam pemahaman saya hal ini mengacu pada kemampuan pembaca dalam menangkap makna roman tersebut, bukan semata-mata menerimanya sebagai cerita cinta yang mengundang baper. Kita memerlukan alat-alat kritis yang mampu menangkap kondisi sosiologis, psikologis, atau bahkan nilai lainnya seperti filsafat atau keindahan sastra dalam sebuah roman.

Adalah perlu kita tujukan novel-novel roman tersebut kepada orang-orang yang tepat. Janganlah mentah masak orang langsung memakan novel roman. Bukan berarti novel roman itu jelek. Natsir tidak pernah menuduh demikian. Justru, novel roman itu merupakan salah satu ciri khazanah kesusastraan.

Bagi saya, novel teenlit tidak perlu diberantas, namun diperkaya dengan analisis tajam di bidang yang sudah saya sebutkan tadi.  Kalau dirasa pembacanya kurang bisa menangkapnya, apa salahnya jika pengarang memancing hal tersebut dalam karyanya secara lebih ringan. Apa arti sebuah karya sastra jika tidak memberikan pemahaman dan pencerahan bagi pembacanya. Biarpun dalam sastra terkenal akan kalimat "the death of author", bukan berarti kita lepas begitu saja tanpa perbekalan yang patut dalam sebuah karya sastra. The death of author merupakan kondisi ketika pengarang sudah melepaskan karyanya, maka karya tersebut sudah bukan tanggungjawab pengarang jika ditafsirkan oleh tiap person dalam publik.

Kembali kepada tokoh Natsir. Novel roman kita sudah semestinya bergerak lebih jauh lagi. Boleh saja kita ambil inspirasi dari Barat maupun dari Timur. Selama kita memiliki "saringan" dalam menerima kebudayaan tersebut. Natsir mencontohkan Dante's divine comedy yang terinspirasi dari Isra' Mi'raj. Jika kita lihat karya tersebut, Dante secara terang-terangan justru mencela nabi Muhammad yang dimasukkan ke dalam neraka. Saya rasa dapat kita ambil suatu pelajaran bahwa inspirasi datang dan memberikan warna baru dalam sebuah karya sastra, boleh saja kita menyindir karya yang menginspirasi kita.

Penulis-penulis roman teenlit sudah mendapatkan tempatnya di kalangan masyarakat muda kita. Adalah basi bagi karya teenlit yang hanya bercerita tentang kisah percintaan semata. Mestinya ada isu yang jelas dan mencolok dalam kisah tersebut. Janganlah berkutat pada kisah percintaan anak SMA yang nakal seperti ketua berandalan berpacaran dengan siswi SMA yang cantik semata. Sudah saatnya penulis-penulis roman teenlit tersebut menambahkan isu adat yang tidak progresif atau isu nikah muda, pelecehan seksual, isu perempuan, dan masih banyak lagi, tinggal dikemas ke dalam kisah cinta anak SMA.

Di samping itu, dirasa juga perlu mendatangkan inspirasi yang baru. Inspirasi budaya Barat misalnya. Bolehlah pengarang-pengarang teenlit itu memasukkan sedikit lingkungan pendidikan Barat yang amat demokratis. Bolehlah pengarang-pengarang teenlit itu memasukkan sedikit lingkungan kemajuan teknologi di negara-negara Timur yang maju. Sudah waktunya nilai dan isu yang lebih modern, lebih berada di sekitar mereka diangkat dengan menggunakan beberapa konsep dari ilmu lain ke dalam sastra mereka.

REFERENSI

Moh Natsir (2008) Capita Selecta Jilid I cetakan keempat. Penerbit Bulan Bintang: Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun