Tak berselang lama sejak bermigrasi ke Indonesia, singkong merupakan salah satu tanaman yang melekat dengan rakyat. Sebagai tanaman rakyat, singkong lebih berperan untuk pangan penduduk di daerah rawan pangan. Meskipun singkong tergolong tanaman luar yang di-Indonesiakan, namun pertumbuhannya disini boleh dibilang sempurna.
Hasilnya melimpah meski dibeberapa tempat tidak dibarengi dengan penanganan yang serius. Keuntungan ini, tanpa disadari menempatkan Indonesia sebagai penghasil singkong terbesar ketiga di dunia dengan kapasitas 11 juta ton pertahun.
Saat ini Indonesia tergolong penghasil singkong yang punya peluang untuk dimanfaatkan sebagai salah satu komoditi ekspor untuk mengimbangi ekspor migas yang mulai merosot. Tanpa disadari sampai sejauh ini dunia persingkongan Indonesia belum menggembirakan dan nyata sekali belum ditangani secara serius.
Sebaliknya Thailan, yang menduduki urutan keempat sebagai penghasil singkong berhasil merajai pasaran di dunia termasuk ke Indonesia. Bahkan, sampai detik ini Indonesia masih mengimpor singkong dalam bentuk pellet, chip, dan tapioka serta turunannya. Oleh karenanya Tim dari Prodi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Vokasi Undip, yakni Mohamad Endy Julianto, Fitria Arifina, Istiqamah Harnama  dan Deshinta Maharani berupaya mengembangkan gagasan recovery pati terlarut.
Fitria menyampaikan bahwa pati terlarut merupakan produk hasil pengolahan singkong menjadi tepung tapioka yang tidak dapat mengendap. Hal ini disebabkan ukurannya yang sangat halus dan larut sempurna dalam air. Pati terlarut sangat dibutuhkan oleh berbagai industri besar seperti industri tekstil, kertas kualitas tinggi, pembuat plester, lem, makanan, dan lain-lain. Permintaan pati terlarut yang sangat tinggi dan belum tersediaannya di Indonesia, menyebabkan para produsen (industri besar) masih impor.
Hal ini sangat ironis, karena pati dapat dihasilkan oleh industri tapioka. Kandungan pati dalam singkong adalah 32%. Kandungan ini meliputi pati terlarut dan pati tidak terlarut (pektin). Industri tapioka di Indonesia hanya mampu mengambil pati tidak terlarut sebagai produk, sedangkan pati terlarut dibuang bersamaan dengan limbah cair industri. Padahal pati terlarut mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi jika dibanding dengan pati tidak terlarut, ujar Istiqamah.
Deshinta mengungkapkan bahwa recovery pati terlarut dari limbah cair tapioka saat ini belum dilakukan di Indonesia. Mengingat tingginya nilai ekonomi pati terlarut, untuk itu perlu dicari alternatif solusinya. Alternatif yang diusulkan adalah reverse osmosis.
Endy menambahkan bahwa reverse osmosis merupakan proses pemisahan menggunakan membran tidak berpori bergaya gerak tekan. Pemisahan terjadi bila tekanan yang diberikan melebihi tekanan osmotiknya. Penggunaan reverse osmosis diharapkan mampu merecovery pati terlarut dari limbah cair tapioka lebih dari 90%.