Mohon tunggu...
Mohamad Endy Yulianto
Mohamad Endy Yulianto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

chemical

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Digitalisasi Teknologi Biji Kecipir Menjadi Kedelai sebagai Pangan Mandiri

23 November 2024   23:57 Diperbarui: 24 November 2024   00:54 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mohammad Najib Fitrianto, Mahasiswa Informatika Undip/dokpri

Inovasi terus menjadi langkah penggerak dalam mendukung terciptanya swasembada pangan. Terobosan terbaru lahir dari pemikiran Mahasiswa Program Studi Informatika Undip, yakni Mohammad Najib Fitrianto. Najib telah menggagas biji kecipir pengganti kedelai impor untuk produksi tempe melalui digitalisasi teknologi dengan menggunakan smartphone.

Najib menyampaikan bahwa kebutuhan pangan seperti kedelai yang digunakan sebagai bahan baku untuk produksi tahu, tempe, susu, kecap, mie dan pangan lainnya saat ini pemenuhannya masih melalui impor. Bahkan salah satu makanan favorit yang digemari oleh masyarakat luas seperti tempe saat ini masih impor sebesar 2,49 juta ton tiap tahun atau setara dengan 27,4 triliun rupiah.

Najib menambahkan bahwa minat petani dalam memproduksi kedelai lokal jadi menurun dan ketergantungan pada kedelai impor. Adapun salah satu pemicunya  adalah kualitas kedelai lokal yang ada dipasaran, dinilai belum memenuhi SNI sehingga harga relatif rendah yakni sebesar Rp 6.000/Kg.

Oleh karenanya salah satu terobosan yang dikembangkan untuk menyokong ketahanan pangan secara mandiri adalah dengan mengembangkan pangan sehat dengan perpaduan biji kecipir 50% dan biji kedelai 50%. Hal ini disebabkan oleh kandungan gizi biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L) setara dengan kedelai seperti: karbohidrat (23,9 -- 42,0 gr), protein (29,8 -- 39,0 gr), lemak (15,0 -- 20,4 gr), kalori (405 cal), dan air (6,7 -- 24,6 gr), papar Najib.

Najib mengungkapkan bahwa persoalan krusial yang terjadi karena rasa dan bau langu (bitter beany flavour) pada biji kecipir. Hal ini terjadi akibat aktivitaas enzim lipoksigenase yang aktif ketika pengupasan kulit yang membuat kontak dengan udara. Untuk itu penerapan proses panning (goreng sangan) sangat mungkin diterapkan dalam inaktivasi enzim.

Digitalisasi alat panning menjadi kunci utama keberhasilan proses. yakni sebuah program yang dapat menggerakkan mesin secara terarah dan teratur. Hal ini dilakukan agar dapat menghindari proses degradasi termal zat gizi biji kecipir. 

Dengan adanya program yang terarah dan teratur, dapat mengontrol dan mengoptimalkan setiap proses yang berlangsung. Memprogram sebuah mesin agar dapat digunakan dengan baik bukanlah hal yang mudah, yakni dikarenakan banyaknya kemungkinan eror yang terjadi di mesin, terang Najib.

Oleh karena itu dalam memprogram dibutuhkan banyak sekali fungsi, kemungkinan dan pencarian bug yang berulang kali dilakukan. Setelah mendapatkan program tersebut dapat diaplikasikan pada sebuah mesin dan dihubungkan dengan smartphone. 

Penyusunan aplikasi yang berisi proses keadaan langsung sebuah mesin, diantaranya menggunakan kamera pendeteksi. Kamera ini dapat mendeteksi keadaan  secara langsung yang terhubung dengan program pada aplikasi smartphone, tutup Najib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun