Indonesia banyak terdapat industri batik, mulai dari industri skala kecil, menengah hingga skala besar. Kabupaten Cilacap yang dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Jawa Tengah, juga banyak terdapat home industri salah satunya industri batik di Kutawaru Cilacap. Industri batik tersebut, menggunakan pewarna sintetsis dan pewarna alami dari kulit biji mangrove.
Namun, pengolahan limbah cair masih konvensional. Salah satu upaya nyata yang dilakukan oleh Dosen Prodi Teknik Kimia, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap yakni Arnesya Ramadhani, ST, MT melalui pengembangan dengan memanfaatkan limbah fly ash hasil pembakaran batubara.
Arnesya Ramadhani biasa disapa Nenes menyampaikan bahwa proses pewarnaan dan pelorodan melibatkan bahan sintesis yang menghasilkan limbah cair dan jika tidak diolah dengan baik akan mencemari lingkungan. Berdasarkan peraturan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2014 tentang baku mutu air limbah, dimana mengatur batasan air limbah yang dapat dibuang ke lingkungan mengacu batasan baku mutu untuk industri tekstil.
Oleh karena itu diperlukan proses pengolahan yang tepat sebelum di lepaskan ke lingkungan. Kabupaten Cilacap terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menghasilkan limbah fly ash hasil pembakaran batubara, ujar Nenes.
Â
Nenes yang merupakan lulusan Teknik Kimia yang bertansformasi menjadi Prodi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Vokasi Undip mengungkapkan bahwa fly ash merupakan partikel-partikel halus yang memiliki kandungan kimia silika (SiO2) terbanyak. Fly ash memiliki potensi besar sebagai adsorben pada limbah. Untuk meningkatkan daya serap fly ash salah satu caranya yaitu dengan aktivasi menggunakan bahan kimia.
Solusi berupa pengembangan pengolahan limbah cair batik dengan menggunakan metode koagulasi-adsorpsi. Koagulan yang digunakan adalah tawas kemudian memanfaatkan limbah fly ash yang sudah teraktivasi sebagai adsorben. Hasil riset ini menunjukkan penurunan COD, BOD dan TSS pada limbah batik, persen penurunan COD sebesar 97%, BOD sebesar 91% dan TSS sebesar 79%. Harapan kedepannya riset ini dapat menjadi solusi yang efektif dan ekonomis untuk para pengusaha batik di Indonesia, pungkas Nenes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H