“Apa kelebihannya? Dia kan cuma bisa cerita.”
Begitu kurang lebih pernyataan seorang teman yang memberikan respon atas tulisan-tulisan di Kompasiana yang sering saya kirimkan di sebuah WAG. Pernyataan “Dia cuma bisa cerita” rupanya dihubungkan dengan tulisan atau artikel. Anda mungkin pernah mendapatkan respon serupa ketika berbagi tulisan kepada rekan di lingkungan kerja.
Dalam konteks tertentu, dia benar jika menyamakan pengertian cerita dan tulisan karena menulis itu memang salah satu cara seseorang bercerita. Seseorang yang menulis pada dasarnya juga sedang berbicara. Menulis dan berbicara memiliki esensi yang sama. Bercerita. Menyampaikan pesan. Bagian dari komunikasi. Pesan dalam komunikasi sangat kompleks, mencakup pikiran, perasaan, pengalaman, atau sesuatu yang memberikan informasi tertentu kepada orang lain.
Namun, di balik pernyataan itu tampak jelas bahwa betapa memprihatinkan pemahaman literasinya. Dia pikir seseorang yang menyusun sebuah tulisan itu hanya mengandalkan jemari tanpa melibatkan proses kognisi yang rumit. Mungkin juga dia berpikir bahwa menulis itu sama entengnya dengan suka kepo dan sekadar membacot tanpa melibatkan proses berfikir.
Saya tidak memiliki masalah saat saya direndahkan tetapi sangat memprihatinkan ketika seseorang tidak memahami bahwa menulis itu memerlukan proses berpikir.
Menulis itu bagi saya istimewa dalam beberapa hal. Perlu dicatat bahwa, dengan mengakui keistimewaan proses menulis bukan berarti menafikan keistimewaan aktivitas lain.
Masalah sebagai sumber inspirasi
Setiap orang secara niscaya akan selalu berhadapan pada satu atau beberapa masalah dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seseorang yang suka menulis, berhadapan dengan masalah dalam kesehariannya bisa jadi sebuah berkah.
Setiap orang sepakat bahwa ketika berhadapan dengan sebuah permasalahan selalu disertai dengan kegelisahan. Pada titik ini, banyak orang kerap tidak mampu mengelola stabilitas emosionalnya. Permasalahan yang dihadapi tidak jarang mengantarkan seseorang kepada situasi dimana perasaannya berada pada titik yang tidak menyenangkan. Ini membuat seseorang menjadi sedih, marah, atau tertekan.
Bagi para penulis, permasalahan itu dapat menjadi sumber inspirasi dalam menghasilkan sebuah tulisan. Saat berhadapan dengan sebuah masalah, daya imajinasinya akan bekerja melakukan petualangan menembus ruang dan waktu. Dengan kekuatan imajinasinya, dia akan mampu berpikir dan mengurai permasalahan itu dan dituangkan melalui tulisan.
Permasalahan hidup sebagai sumber inspirasi seorang dalam menulis telah dibenarkan oleh Burhan Nurgiantoro melalui bukunya Teori Pengkajian Fiksi (2000).
Nurgiantoro menulis sebagai berikut
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai pengalaman hidup dan kehidupan itu menjadi tema atau sub-tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan.