Pagi yang cerah, secerah senyum bocah mendapatkan hadiah mainan baru. Putaran roda kuda besi membawa saya ke sekolah sekitar pukul tujuh waktu setempat. Setiba di belokan jalan tampak gerbang sekolah yang sudah mulai ringkih.
Seorang perempuan tambun duduk berselonjor di pinggir pintu masuk halaman sekolah itu. Di sampingnya, tergeletak sejumlah nasi bungkus dibalut kertas coklat di atas nampan. Di sebelah nasi bungkus sebuah kardus berisi sampah bekas bungkus nasi. Rupanya perempuan itu sengaja menyiapkan wadah tempat sampah.
Perempuan penjual nasi itu tersenyum sambil mengangguk ketika saya memasuki gerbang sekolah. Saya membalas senyum dan anggukan itu dengan cara yang sama. Motor saya terus melaju ke tempat parkir. Setelah memarkir kendaraan saya berjalan ruang kantor untuk meletakkan tas.
Beberapa menit berlalu, ada suara sandal beradu dengan ubin teras ruang kantor.
"Assalamu'alaikum."
Sebuah suara salam membuat saya berpaling ke arah pintu. Suara seorang perempuan. Saya melangkah ke pintu untuk memastikannya. Ternyata perempuan itu penjual nasi di gerbang sekolah.
"Mari masuk!" saya mempersilakan perempuan itu.
Dia melepas sandalnya saat masuk ke ruangan. Demikianlah etika masyarakat kampung umumnya. Mereka akan melepas sandal kalau masuk ruang berkeramik. Dia memilih duduk bersimpuh di lantai. Saya sedikit memaksa agar dia mau duduk di kursi tetapi dia tetap memilih duduk di bawah. Akhirnya saya ikut juga duduk di bawah.
"Ada apa?"
Perempuan itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan saya. Dia menutup mulut dan hidungnya dengan ujung kerudung yang dia gunakan. Biasanya tindakan ini dilakukan seseorang untuk mengontrol kata-kata yang tidak ingin diucapkan agar dapat memberikan kesan positif kepada lawan bicara.