Waktu pada smartphone menunjukkan pukul 13.26. Tidak terasa Ramadhan telah memasuki hari ke-11. Saya ketiduran. Saya tersentak. Tidak ada adzan berkumandang. Rupanya listrik sedang mengalami pemadaman. Sementara saya belum shalat zuhur. Saya bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Selanjutnya saya shalat munfarid, sendiri.
Ini hari Minggu. Libur. Tidak ada aktivitas yang lebih baik daripada berdiam diri di rumah. Langit siang cukup cerah. Cuaca sedikit panas. Saya merasa gerah. Ada 3-4 bocah lima tahunan bermain di halaman rumah.
Entah mengapa tenggorokan saya siang ini terasa kering. Sekering persawahan di tengah kemarau.
Pikiran saya terbang ke 4 atau 5 dekade yang lalu. Pengalaman puasa saat masih kanak-kanak. Saya kerap diserang dahaga, sebuah kondisi dimana muncul keinginan yang sangat kuat untuk minum.
Dahaga atau haus adalah respon tubuh akibat adanya kebutuhan air untuk melakukan kerja metabolik.
Haus adalah cara tubuh untuk memberi tahu bahwa telah terjadi kekurangan cairan. Keadaan ini normal dialami saat cuaca panas atau setelah berolahraga atau melakukan aktivitas berat.
Dahaga itu menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada serangan rasa lapar. Bahkan lebih sakit dari pengkhianatan kekasih yang Anda cintai setengah hati. Lapar masih bisa kompromi. Haus tidak.
Penyebabnya makanan asin yang berlebih pada malam hari. Saya salah satu dari segelintir orang Lombok yang tidak tahan dengan rasa pedas. Itu sebabnya masakan ibu tidak terlalu pedas.
Saya ingat, sesekali ibu memasak daging yang dibumbui dengan asam dan garam untuk berbuka atau sahur. Entah apa nama jenis masakannya. Kuah daging yang dimasak dengan cara ini sangat saya sukai. Kalau makan, saya menyiram nasi saya dengan kuah itu. Bahkan saat sahur.
Sayangnya masakan asin itu berdampak pada siang hari saat puasa. Kaldu asin itu menimbulkan dahaga yang sangat dahsyat. Menjalani ibadah puasa menjadi tidak nyaman. Ingat. Makin diminum air laut itu kita makin dahaga.