Euforia Ramadhan bukan saja milik umat Islam dewasa melainkan juga anak-anak. Kegembiraan anak-anak itu terekspresi dalam rupa-rupa wujudnya.
Kegembiraan itu terus hadir setiap tahun, setiap dekade, dari masa ke masa. Kegembiraan itu adalah kegembiraan yang sama, menyambut datangnya Ramadhan.
Semua kompasianer Muslim tentu pernah melewati pengalaman puasa Ramadhan pada masa kanak-kanak. Masing-masing kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda sesuai dekade kehidupan yang kita jalani.
Dalam banyak hal Ramadhan tahun 70-an memiliki kesamaan dengan tahun 80-an, tetapi berbeda dengan tahun 90-an. Memasuki abad 21, nuansa perbedaan itu makin berkembang. Saya sendiri mulai belajar puasa ketika duduk di kelas 2 atau 3 sekolah dasar. Saat itu sekitar tahun 80-an.
Masih tergambar jelas dalam ingatan saya bagaimana menjalani Ibadah puasa kala itu. Informasi awal puasa atau 1 Ramadhan maupun 1 Syawal hanya diperoleh dari siaran radio. Demikian juga untuk mengetahui saat-saat berbuka puasa, sahur, atau shalat. Radio menjadi satu-satunya sumber informasi elektronik. Tidak semua orang memiliki radio. Televisi sendiri belum masuk kampung. Maka kalau orang kampung melihat televisi seperti melihat sebuah keajaiban. Mungkin sama dengan orang yang pada pada era 80-an jika diterbangkan menembus waktu menuju abad 21 akan melihat smartphone sebagai sebuah keajaiban.
Di samping radio, suara bedug juga menjadi media lainnya untuk yang menandai datangnya waktu-waktu tersebut. Jika bedug sudah dipukull 3 kali, itu pertanda waktu maghrib telah tiba.
Tidak ada listrik. Tidak semua masjid memiliki Toa. Toa itu merek tetapi begitulah orang-orang menyebut pengeras suara. Kalaupun ada, pengeras suara itu menggunakan aki 12 volt. Jika strumnya sudah habis aki itu dibawa kepada jasa strum.
Puasa di kampung tidak dikenal ngabuburit ke tempat-tempat tertentu untuk menunggu waktu berbuka sebagaimana kebiasaan orang-orang sekarang. Kita, anak-anak, menanti maghrib dengan main kejar-kejaran di tanah lapang gerbang kampung. Pada hari yang berbeda kita bermain layang-layang di pematang atau tanah sawah retak-retak.
Di lain waktu kita bermain perosotan dengan pelepah pinang. Permainan paling populer bagi anak laki-laki adalah sepak bola. Bolanya dari gedebog pisang yang telah mengering. Gedebog itu digulung sampai membentuk bundaran sebesar bola. Agar gulungan tidak lepas diikat dengan simpul tali gedebong yang telah dipilin. Simpul tali itu melindungi permukaan bola.
Meriam bambu menjadi permainan khas saat itu. Maka menjelang sore dentuman meriam itu akan bersahutan dari tiap kampung. Anak-anak dari setiap kampung akan mengeluarkan meriam bambu yang dapat menimbulkan dentuman paling besar.