Ide menulis itu konon bisa muncul dari mana saja. Kata para suhu, ide itu berserakan di sekitar kita--bisa ditemukan di sudut halaman rumah, pada jalanan berlumpur, lengkung langit yang berawan, atau pada tingkah bocah yang ngambek karena tidak dibelikan mainan baru.
Ternyata bagi saya gagasan tentang ide menulis ini tidak selalu benar. Saya sudah dua hari ini kehilangan ide. Biasanya saya punya draft seperempat jadi, setengah jadi, atau bisa juga draft sepenuhnya jadi. Jika draft lebih dari satu dan merasa salah satunya tidak bisa dilanjutkan, naskahnya tidak saya hapus. Saya biarkan mengendap dalam drive dengan pertimbangan siapa tahu besok lusa muncul ide untuk diselesaikan menjadi artikel utuh dan siap kirim.
Sebagaimana biasa sebelum diunggah ke media tujuan, tentu draft itu mengalami proses editing dulu untuk memberikan perbaikan ejaan, tanda baca, pilihan kata, atau susunan kalimat yang masih acak-acakan.
Kompasiana memang menyediakan beberapa topik pilihan. Salah satunya tentang topik Sambo. Tetapi saya tidak memiliki cukup informasi tentangnya karena tidak pernah nonton tivi atau mengikuti perkembangan kasusnya secara detail dan serius. Saya hanya tahu Sambo membunuh ajudannya atas bantuan bawahannya. Saya tidak ingin gegabah menulis sesuatu yang tidak saya pahami secara utuh. Takut salah opini dan salah meneruskan informasi.
Sayapun melakukan refleksi mengapa ide itu tidak muncul. Saya mencari penyebabnya di kolong meja, di bawah kasur, pada ranting pohon yang kuyup, atau atap rumah bersimbah hujan. Saya bertanya pada hembus angin, pada kepadatan lalu lintas, dan pada sayur bening hidangan istri saya.
Saya terus berefleksi mengapa ide menulis saya mandeg. Saya gelisah. Kegelisahan itu cukup kompleks. Salah satunya dipicu oleh dompet yang kosong.
Rupanya inilah salah satu penyebabnya. Tadi pagi saat akan berangkat ke sekolah kegelisahan itu berlipat. Penyebabnya, motor saya macet. Saat dihidupkan electric starter hanya terdengar bunyi seperti nafas seseorang sedang mengidap bengek.
Saya beralih ke starter manual. Masih sama. Tidak bisa hidup. Berulang kali saya mencoba sampai betis saya pegal macam orang telah mendaki jurang. Upaya ini tidak berhasil. Motor matic itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami putaran mesin dengan normal. Saya buka jok untuk mengontrol BBM-nya. Masih ada setengahnya.
Saya diambang putus asa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Sementara itu langit berkabut dan gerimis terus tunduk di bawah kuasa gravitasi.
Saya jadi gabut, istilah remaja abad 21. Tentunya bukan gaji buta tetapi dirundung kebingungan. Mau dibawa ke bengkel, jaraknya cukup jauh. Uang di dompet saya juga sudah menemukan tuannya masing-masing.
Melihat saya gabut, istri saya yang juga harus ke sekolah, menawarkan sepeda motornya. Dia memilih menggunakan ojek karena jalur menuju ke sekolahnya cukup gampang menemukan tukang ojek. Berbeda dengan saya yang mengajar di tempat yang cenderung sulit mendapatkan jasa transportasi.