Musim rambutan tahun ini membawa saya kembali ke sebuah titik beberapa tahun yang lalu saat pergi ke kota untuk sebuah keperluan. Magrib sudah mulai renta ketika saya pulang kala itu. Saya sempatkan diri mampir di salah satu tukang buah yang berjejer di pinggir jalan. Saya turun dari kuda besi tua yang sudah bersama saya pada tahun ke dua belas saat itu. Cari oleh-oleh untuk orang rumah.
Saya menghampiri salah satu tukang buah. Dalam dua tiga langkah berikutnya saya sudah berdiri di sisi depan meja yang di atasnya menumpuk buah rambutan. Buah itu tersusun rapi setinggi leher orang dewasa. Kelihatannya masih segar. Di sela-sela susunannya terselip beberapa helai daunnya yang masih hijau. Ada titik-titik air yang menempel di sekujur buah musiman itu, seperti embun pagi bertengger di pucul-pucuk rerumputan. Bisa dipastikan sang pemilik buah sengaja memercikkan air ke barang dagangannya.
Duet maut dua lampu bohlam yang dipasang dalam corong BBM eceran mirip mercusuar memancarkan cahaya merah menyala menggenapkan daya tarik pembeli. Saya berkesimpulan sendiri bahwa lampu itu hasil kreasi si Penjual. Bagian dalamnya dilapisi kertas berwarna merah saga. Pancaran cahaya merah itu menempatkan susunan rambutan pada batas paling merah.
Sepintas rambutan itu terlihat benar-benar segar, laiknya buah yang baru diturunkan dari pohonnya. Dalam balutan cahaya, rambutan itu memantik keinginan setiap orang untuk mencicipinya. Akan tetapi, dalam belaian cahaya normal atau jika dilihat saat siang hari, akan ditemukan kenyataan bahwa rambutan itu tidak menarik. Terlihat ujung-ujung lancip kulitnya mulai menghitam. Itu pertanda kalau rambutan itu sudah mulai memasuki fase layu. Dengan teknik kreatifnya tukang rambutan itu nyaris berhasil memanipulasi citra dagangannya sehingga membuat setiap pelanggan tidak perlu berpikir panjang untuk mengambil keputusan akhir--mencabut dompet dan membeli dagangannya.
Teknik berjualan tukang rambutan itu membawa saya pada kesadaran tentang sejumlah pemburu suara menjelang pemilu tahun 2024. Tampaknya para pemburu suara mengadopsi teknik jualan tukang buah itu untuk menarik simpati masyarakat. Para pemburu itu mulai melakukan propaganda yang menggempur kesadaran politik kita saat ini.
Seperti tukang rambutan, setiap kali menjelang pesta politik, para pemburu suara yang akan maju ke kursi empuk ditu atang kembali dengan propaganda untuk merebut simpati dan empati warga. Mereka datang dengan menyalakan corong mercusuar yang berusaha menyilaukan mata "para pembeli". Mereka datang membawa kesejukan untuk menarik perhatian setiap orang.
Mereka hadir dengan penampilan yang berusaha meyakinkan warga bahwa mereka sangat dekat dengan rakyat hampir tanpa sekat. Mereka tampil sebagai pribadi yang merakyat, sosok yang patut menjadi pilihan paling tepat, atau sebagai pelabuhan terakhir rakyat paling jelata. Mereka muncul bagai sosok dengan kekuatan super yang siap mengatasi permasalahan paling darurat. Mereka datang dengan wajah ibu berhati lembut untuk menghibur bocah-bocah ngambek.
Mereka berkunjung ke tempat paling terkucil, menjumpai warga di sudut-sudut kota, atau menyambangi penduduk kampung dengan iming-iming perubahan kesejahteraan yang lebih baik.
Pesta demokrasi 2024 tersisa setahun lagi. Tetiba saja para wakil rakyat mulai begitu peduli kepada rakyat setelah mereka menghilang bertahun-tahun entah ke mana. Entah dananya dari mana, mereka datang membawa "berkah" politik. Kehadirannya mendadak membawa uang dengan misi menyelamatkan gang-gang sempit yang rusak, memperbaiki jalan-jalan kecil di pojok-pojok kampung. Mereka datang dengan misi kampanye anti narkoba, memperbaiki jalan buntu, memasang paving block pada pelataran masjid, sembari mengibarkan bendera partai pada tembok halaman warga tanpa izin.
Mengapa baru sekarang jalan-jalan berlubang itu dipoles? Mengapa sekarang mereka baru datang menawarkan perbaikan MCK umum? Mengapa mereka baru muncul sekarang setelah bertahun-tahun menghilang entah ke mana?