Amaq Semain dikenal warga sangat pintar bercerita. Kalau sudah mulai bercerita, setiap orang yang mendengarnya akan memperhatikan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bagai seorang pendongeng, setiap ceritanya dapat memukau semua orang. Dia bisa membawa pendengarnya seolah terlibat dalam alur cerita yang dibuatnya.
Tidak banyak orang yang dapat bercerita seperti Amaq Semain. Diperlukan bakat khusus untuk membuat orang tertarik saat bercerita. Tetapi pada dasarnya, bakat itu bisa dilatih.
Amaq Semain juga selalu memiliki cerita. Setiap hari ada saja yang diceritakannya. Seperti sumber mata air pegunungan yang tidak pernah mengering, ceritanya mengalir dari satu cerita ke cerita lainnya hampir tanpa jeda.
"Baiklah. Saya ingin mendengar ceritamu hari ini, Amaq Semain." kata Tuan Usen saat duduk bersama Amaq Semain suatu sore.
Mereka duduk beralas tikar pandan buatan istri Tuan Usen. Sebuah lampu minyak tanah tanpa cerobong menyumbang cahaya temaram. Sudah sebatang rokok lintingan habis dihela Tuan Usen tetapi malam itu tidak sepatah katapun keluar dari mulut Amaq Semain. Dia hanya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan tuan Usen, menghimpun ketenangan melalui asap putih yang keluar masuk tenggorokannya. Segelas kopi hitam sehitam malam berpartisipasi dalam kebisuan dua orang itu.
"Mengapa diam saja?" tanya Tuan Usen meretak kebisuan karena penasaran dengan sikap diam Amaq Semain yang tidak biasa.
"Saya tidak memiliki cerita malam ini," Amaq Semain menjawab datar.
"Bukankah biasanya kau punya cerita? Mengapa hari ini berbeda?"
"Saya harus cerita apa?"
"Terserah cerita apa saja," Tuan Usen terkesan memaksa.
Amaq Semain menghela napas. Dia diam seakan mencari alasan yang tepat untuk menjawab keinginan Tuan Usen.
"Hari ini saya tidak memiliki pengalaman dan kisah yang bisa saya ceritakan."
"Tidak perlu berdasarkan kisah atau pengalamanmu."
"Saya belum paham apa yang Tuan maksud."
"Saya hanya ingin kau cerita."
"Lalu apa yang saya harus ceritakan?"
"Cerita apa saja?"